welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

30.6.12

Maxi Black Dress

Hello everyone! Long time no post about my fashion thingy. Btw, recently im getting mad with black. I've bought Maxi Black Dress only fifty-five thousand rupiahs! and sooo useful! I combined this item with everthing that i think match by all i have in my closet. Let me know you about my experience wore this cute dress;

1. Maxi + wool outer.
I wore this at my friend's wedding. It's kinda cute when i add my clutch ;)





2. Maxi + Black Cardigan
Just fyi my maxi is "You Can See" type. So for simple look, i just put on my black cardigan. I wore like this to go to the movie with A. (My hijab in this picture is a b'day gift from him)




3. Maxi + Denim Jacket
I wore this combination to go to campus. So weird for the first time i mixed dress with denim. But i felt so stylist by then. I put a cute headband at my hijab too. 



4. Maxi + Pink Blazer
This pink blazer is a gift b'day from A. I combined with Maxi dress and black wedges. Blink blink as my necklace makes me sooo Blink! I wore this kind to work as journalist @JE


5. Maxi+ Fancy Blazer
I steal my students' eye when i wore this combination to go teach. Ahh, some of them lebelled me stylist teacher. Thx!


Nite and sleep well!

24.6.12

Bahasa Iklan dan Kontribusi Anak Muda



Senin, 11 Juni 2012 saya dan Dellon Kuswari mengisi acara di salah satu stasiun TV swasta yang ada di kota Jambi. Dunia pertelevisian belakangan ini memang semakin pesat. Salah satu media elektronik yang kerap dipakai guna memasarkan beberapa produk iklan ini semakin gencar dan variatif dalam berbagai program. Program yang kami isi ketika itu adalah "Pesona Bahasa". Sesuai dengan kapasitas kami sebagai duta, di sana kami memaparkan bahwa bahasa memang mempunyai peran yang ganda. Bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai sarana yang menunjukkan identitas suatu bangsa.

Saya jadi teringat mengenai dampak bahasa iklan yang ada di negara kita. Iklan pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti menggiring orang pada gagasan. Ya, dalam sebuah iklan yang ditayangkan di televisi, tentu saja harus persuasif. Artinya harus dapat mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini secara khusus adalah agar dapat mempengaruhi pemirsa untuk melakukan atau menggunakan produk yang diiklankan tersebut. Namun, sayangnya persuasi tersebut kerap dibingkai dalam bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah dalam porsi utama.

Saya dan Dellon saat diundang di salah satu TVswasta

Logikanya begini, bahasa gaul atau bahasa prokem adalah varian baru dari bahasa Indonesia yang muncul dalam perkembangan bahasa kita. Idealnya, penggunaan varian tersebut tidak mematikan bahasa Indonesia sendiri. Jadi, wajar jika iklan mempergunakan bahasa 'buatan' yang beraneka ragam. Tapi saya berpendapat bahwa bahasa Indonesianya harus tetap ada. Selain itu, kontribusi kita sebagai anak muda harusnya tidak begitu saja mudah menerima bahasa varian tersebut. Melainkan tetap selektif dalam prosesnya.

Selain itu, bahasa iklan juga dikenal dengan bahasa yang bombastis. Sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akal bisa terlihat keren di TV. Tidak sedikit tim kreatif iklan melakukan perekrutan terhadap anak-anak muda untuk membuat konsep iklan yang meremaja. Tentu saja dengan pertimbangan bahwa anak muda adalah subjek yang segar dalam menghasilkan ide. Juga dalam hal ini, anak muda sebagai suatu komunitas besar juga sering dijadikan objek suatu iklan. Bahkan, iklan perbankan yang bisanya ditujukan untuk kalangan profesional, kini telah merambah sasaran pangsa pasar anak muda. Hal tersebut ditandai banyaknya anak muda yang turut menjadi ikon atau model suatu produk. Salah satu merek kartu perdana bahkan rutin mengadakan pemilihan semacam duta bagi produknya.

Dari sini, kita bisa menyimpulkan besarnya peran anak muda dalam pembentukan bahasa iklan. Tidak jarang juga kita temukan anak muda yang meniru bahasa iklan dalam perilaku sehari-harinya. Tidak masalah, selama itu sesuai dengan tempat dan situasi. Namun kita harus mempertimbangkan juga aspek psikologi bahasa. Disiplin ilmu yang mempelajari ini disebut dengan Psikolinguistik. Sebuah ilmu yang mempelajari kaitan antara bahasa dan perilaku. Dari sinilah, selektif dan kemampuan mengelola informasi tadi berperan penting. Bahasa yang kita serap dari berbagai sumber, baik secara langsung maupun tidak akan berpengaruh pada perilaku kita. Saya tidak meragukan ini karena hal tersebut sudah merupakan cabang ilmu yang ilmiah. Jadi, jika bahasa yang kita serap merupakan bahasa yang asal-asalan, akan begitu jugakah perilaku kita nanti?

Awal Menuju Duta Bahasa 2012

7 pasang finalis Duta Bahasa 2012 bersama pihak Kantor Bahasa Prov. Jambi serta dewan juri

Seperti mimpi, saat selempang juara pertama dipakaikan kepada saya. Ada tepuk tangan, ada ucapan selamat. Ada setitik air mata. Tak percaya. Ah Meila! Bisa-bisanya kau jadi juara ditengah kemampuan bahasa yang masih terus harus belajar. Tapi ya tentu saja. Tanggung jawab ini membawa saya pada keharusan belajar lebih lagi. Tiada henti. Dan semoga akan terus seperti ini.

Semua berawal saat saya akan mengurus beasiswa pascasarjana di Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Saat akan izin dari sekolah tempat saya mengajar, saya turut menambahkan alasan izin keluar jam kerja karena ingin juga mengikuti seleksi pemilihan duta bahasa. Dua alasan ini memperkuat pemberian izin pada saya. Juga dengan mempertimbangkan kapasitas saya sebagai guru bahasa Indonesia, maka sekolah akhirnya pun mengizinkan. Mimpi belum terlambat saat usia saya 23 tahun. Bahkan semua baru saja akan dimulai!

Proses seleksi berlangsung selama tiga hari 4-6 Juni 2012. Seleksi pertama adalah penilaian tulisan esai mengenai bahasa Indonesia. Tulisan yang saya tulis sederhana saja, mengenai pemikiran saya akan bahasa Indonesia sendiri. Dapat dibaca di sini

Hari pertama, 4 Juni 2012 semua peserta yang lolos seleksi tulisan berjumlah 15 perempuan dan 15 laki-laki. Pada hri tersebut kami mengikuti tes selanjutnya yakni Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Membingungkan. Setidaknya itulah kesan pertama saya sewaktu mengikuti UKBI. UKBI ini semacam TOEFLnya Bahasa Indonesia. Mungkin saya adalah representasi banyak anak muda lain yang kadang kerap meremehkan bahasa sendiri. Banyak dari kita berlomba menguasai bahasa asing. Tidak ada yang salah memang. Tapi tentu tanpa mengabaikan akan pentingnya bahasa sendiri. UKBI yang kami jalani sepenuhnya mengenai kaidah dan penggunaan bahasa. Di sana saya sadar bahwa kita tidak akan mungkin bisa berjaya, tanpa mampu menghargai milik sendiri, bahasa Indonesia.

5 Juni 2012 saya kembali mengikuti serangkaian tes. Tes di hari kedua ini meliputi wawancara yang dibagi atas tiga sesi, pengetahuan bahasa (Indonesia, daerah, dan asing), mengenali struktur kaidah bahasa Indonesia, psikologi, dan budaya daerah. Tes hari kedua memakan waktu yang cukup lama, dari pagi hingga pukul 15.00 WIB. Pada hari tersebut juga diumumkan 7 pasang kandidat duta yang akan maju ke babak grand final di hari ketiga (6 Juni 2012). Nama saya diumumkan masuk ke tahap selanjutnya. Semakin deg-degan! Tentu dengan mengucap puji syukur atas segala kesempatan yang diberikan olehNya.

6 Juni 2012, untuk pertama kalinya saya berlenggak-lenggok di atas panggung. Ketertarikan pada dunia catwalk sebenarnya memang ada. Makanya dengan mantap saya memakai batik Jambi memperkenalkan diri di atas pentas. Saya tidak terlalu ingat apa jawaban saya ketika saya menjawab pertanyaan yang saya pilih secara acak. Judul yang saya jelaskan adalah mengenai TKI. Semua berlangsung begitu saja. Tanpa jeda, saya terus unjuk kebolehan apa-apa saja yang saya ketahui.

Turut menjadi juara pertama sebagai pasangan duta saya adalah Dellon Kuswari. Mahasiswa program ekstensi Universitas Jambi. Usianya juga 23 tahun seperti saya. Banyak hal yang harus kami persiapkan di jenjang nasional nanti. Semoga beruntung!


Duta Bahasa Prov. Jambi 2012/ Meila Rosianika/ Dellon Kuswari






         

Bahasa Indonesia, Generasi Indonesia, Masa Depan Indonesia



Oleh: Meila Rosianika

Salah satu fungsi bahasa adalah komunikasi. Jika merujuk pada pengertian KBBI, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer. Ya, bahasa yang merupakan suatu cara yang kita gunakan untuk menyampaikan pemikiran, perasaan, serta mengomunikasikan ide ke dalam bunyi-bunyi bahasa. Selain itu bahasa juga bersifat arbitrer, mana suka. Kaidah penggunaan bahasa dapat dikatakan fleksibel dan dapat melakukan penyesuaian pada konteks. Namun, mana suka di sini bukan dimaksudkan untuk ”Suka-suka saya saja”. Kita hidup dalam lingkungan dan kondisi yang dipenuhi aturan dan etika. Tentu saja, jika kita ingin bahasa kita dihargai, kita sendiri dulu yang harus mampu menghargai bahasa itu sendiri.

 Setiap individu dipisahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun kelompok. Antara kepentingan satu orang tentu saja berbeda dengan kepentingan orang lain. Adakalanya kepentingan yang berbeda-beda itu memunculkan konflik, namun adakalanya juga kepentingan tersebut dapat saling mengisi dengan simbiosis mutualisme. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara kepentingan kita dengan kepentingan orang lain adalah dengan menggunakan bahasa. Dalam lingkup makro, bahasa Inggris -yang secara konvensional adalah bahasa internasional- dapat menyatukan satuan komunikasi individu dari berbagai negara. Begitu juga dalam ruang lingkup mikro, bahasa Indonesia sebagaimana tercantum dalam sumpah pemuda, telah menyatukan komunikasi antara beberapa orang dari berbagai daerah yang terpisah oleh kondisi geografis, adat istiadat, budaya dan lain sebagainya.

Dalam dunia pendidikan, harusnya menjadi hal yang wajar jika penguasaan bahasa seseorang dapat terlihat dari kemampuan berbahasanya. Aspek keterampilan berbahasa dibagi menjadi empat, yakni: berbicara, membaca, menulis dan menyimak. Sebuah asumsi penulis bahwa seseorang itu baru akan dikatakan memiliki kemampuan suatu bahasa jika memiliki empat kemampuan tersebut. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahasa yang digaungkan sebagai pemersatu tumpah darah ini juga memiliki empat kemampuan yang menjadi ukuran atas penguasaannya. Dua macam kemampuan produktif seperti menulis dan berbicara, dan dua macam kemampuan reseptif seperti seperti menyimak dan membaca. Seseorang dikatakan mampu berbahasa Indonesia bukan hanya ketika mereka mampu berbicara dengan bahasa Indonesia. Tapi juga bagaimana mereka mampu menyimak dengan penguasaan intisari, fasih menggunakan berbagai jenis kemampuan membaca, mampu berbicara dengan pertimbangan etika dan estetika serta juga mampu mengomunikasikan pembicaraan dalam bahasa tulisan dengan mengatakan tidak pada plagiarisme.
Sekarang, mari kita lihat penguasaan keterampilan berbahasa ini di negara kita. Ricuhnya sidang anggota DPR dan kegagalan mengatasi perbedaan pendapat sampai dengan adu fisik di kalangan elite membuktikan rendahnya kemampuan menyimak. Ada masa dimana kita harus mampu ‘mendengar’ orang lain jika ingin suara kita didengar. Namun yang kerap terjadi adalah hujan interupsi terjun bebas. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa pendapatnya lah yang paling baik. Tanpa kemampuan menyimak ini, tidak akan mungkin seseorang bisa menghargai perbedaan pendapat. Padahal, dalam komunikasi dua arah saja tidak akan mungkin terjadi jika keduanya sama-sama berbicara. Perlu ada yang menyimak, baik itu menyimak dalam makna semantik, atau dalam makna pragmatik dengan tolak ukur mampu menyimak “suara hati rakyat”. Belum lagi tidur masal dan kasus menonton video porno yang semakin mempertanyakan kemampuan menyimak pada bahasan sidang yang tengah berlangsung.

Lain lagi dengan kemampuan berbicara. Salah satu pertimbangan yang layak diperhitungkan adalah kemampuan bicara dengan etika dan estetika. Kemampuan berbicara kita masih kerap dibanjiri dengan stigma negatif tentang intervensi bahasa. Suatu hal yang sebenarnya perlu kita pahami adalah, cinta bukan alasan yang tepat untuk kita menutup diri. Mencintai bahasa Indonesia bukanlah alasan yang tepat untuk kita menutup diri terhadap penguasaan bahasa Indonesia. Sering kita jumpai saat seseorang mulai mempraktikkan bahasa asingnya, ia kerap dipandang negatif tidak mencintai bahasa Indonesia. Padahal sebenarnya, penguasaan bahasa asing dapat menjadi modal kita untuk dapat mengenalkan bahasa kita pada dunia internasional. Perkembangan bahasa gaul, dialek dan prokem juga perlu diawasi dan difilter sesuai kebutuhan dan penempatan. Intinya, jika sesuatu diletakkan pada tempatnya, kenapa tidak?

Kemampuan menulis kita juga sudah saatnya dievaluasi. Plagiarisme yang harusnya diberantas belakangan malah tumbuh serupa benih yang mungkin subur jika tanpa pakem dari rakyat. Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Indonesia Budget Centre (IBC) melaporkan investigasi bahwa yang hasil studi banding ke luar negeri anggota DPR adalah hasil copy-paste dari situs asing (www.id.berita.yahoo,8/5/2011).  Tulisan yang diduga hasil jiplak adalah hasil kunjungan Panitia Kerja RUU Kepamukraan ke Afrika Selatan dan studi banding etika parlemen ke Yunani. Belum lagi kurangnya minat menulis dan berkarya bagi pelajar dan mahasiswa. Padahal, menulis merupakan kegiatan berbagi ide dan pemikiran kritis kita terhadap suatu permasalahan melalui media tulisan. Seseorang yang gemar membaca, biasanya akan dengan mudah mengakumulasi kosakata yang diserap dari hasil bacaannya itu ke dalam bentuk tulisan. Kunci agar dapat lancar menulis adalah banyak-banyak membaca. Ketika kita membaca, kita masuk ke dalam sebuah dunia yang ada di dalam bacaan tersebut. Selain itu, membaca juga merupakan obat mujarab mengatasi lupa. Jika mulai dari sekarang, Indonesia mulai bisa membudayakan membaca sebagai kebutuhan seperti negara-negara berkembang seperti Jepang. Maka tidak menutup kemungkinan, kualitas penulisan kita akan semakin meningkat dan bertaraf. Kita juga boleh saja berharap akan dapat memili penulisan yang dapat digunakan oleh penutur asing memperlajari bahasa kita, bahasa Indonesia.

Tentu saja, kita punya banyak alasan untuk bangga memiliki bahasa Indoensia. Bangga dalam artian sebenarnya. Bukan membangga-banggakan dengan konsep berlebihan hingga antipati terhadap bahasa asing dan bahasa daerah. Contoh sederhana saja, kita tidak mungkin pergi ke pasar Angso Duo dengan bertanya, “Berpakah harga sayur ini satu kilo, Bu?”. Dari segi struktur memanga kalimat tada benar, tapi bahasa yang benar belum tentu baik jika tidak disesuaikan dengan konteks. Maka memang perlu kiranya kita berbahasa yang baik, tapi juga mengucapkannya di tempat yang benar dan sesuai. Alasan lain kita perlu bangga terhadap bahasa kita adalah fakta yang dikutip oleh Wikipedea adalah "Wikipedia Indonesia kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin". Selain itu Bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang paling banyak digunakan pada wordpress. Dikutip dari blog tersebut, "fakta bahwa setelah Spanyol, Bahasa Indonesia adalah Bahasa yang menempati urutan ketiga yang paling banyak digunakan dalam posting-posting WordPress. Indonesia pun adalah negara kedua terbesar di dunia yang pertumbuhannya paling cepat dalam penggunaan engine blog itu. Dalam 6 bulan terakhir tercatat 143.108 pengguna baru WordPress dari Indonesia dan telah ada 117.601.633 kunjungan melalui 40 kota di Indonesia".

Indonesia melahirkan generasi seperti kita untuk ditugaskan sebagai pengguna yang baik dan benar, menjaga dan terus belajar agar mampu mengenalkan bahasa ini ke dunia yang lebih luas. Bahasa Indonesia juga harus punya masa depan. Sebaik-baiknya masa depan adalah masa depan yang belajar dari masa lalu dan direncanakan dari masa sekarang. Saya, sebagai generasi muda ingin sekali menjadi bagian dari perencanaan dan duta yang mengenalkan bahasa kita ke ranah dunia namun tetap berpegang pada nuansa budaya lokal, bahasa Indonesia.




4.6.12

Aku Malu

Aku malu. Pada tokoh Rara di film "Rumah Tanpa Jendela". Keinginannya sederhana; hanya ingin punya jendela. Pada tokoh Dahlan di novel "Sepatu Dahlan". Ia hanya ingin punya sepatu. Lalu aku? Ingin ini itu. Ingin dunia. Hari ini biar ku sederhanakan. Rabb, jika memang amalku belum cukup menghantarkanku ke surgaMu, maka izinkanlah aku menemui belahan jiwaku di dunia. Agar mengabdi padanya dapat menambah ladang amalku, menjadikanku shaliha dan berkesempatan seperti wanita... yang juga memiliki surga di telapak kakinya. Boleh ya, Rabb?