Oleh:
Meila Rosianika
Salah
satu fungsi bahasa adalah komunikasi. Jika merujuk pada pengertian KBBI, bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer. Ya, bahasa yang merupakan suatu cara
yang kita gunakan untuk menyampaikan pemikiran, perasaan, serta
mengomunikasikan ide ke dalam bunyi-bunyi bahasa. Selain itu bahasa juga
bersifat arbitrer, mana suka. Kaidah penggunaan bahasa dapat dikatakan
fleksibel dan dapat melakukan penyesuaian pada konteks. Namun, mana suka di
sini bukan dimaksudkan untuk ”Suka-suka saya saja”. Kita hidup dalam lingkungan
dan kondisi yang dipenuhi aturan dan etika. Tentu saja, jika kita ingin bahasa
kita dihargai, kita sendiri dulu yang harus mampu menghargai bahasa itu sendiri.
Setiap individu dipisahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun
kelompok. Antara kepentingan satu orang tentu saja berbeda dengan kepentingan
orang lain. Adakalanya kepentingan yang berbeda-beda itu memunculkan konflik,
namun adakalanya juga kepentingan tersebut dapat saling mengisi dengan
simbiosis mutualisme. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan dan persamaan
antara kepentingan kita dengan kepentingan orang lain adalah dengan menggunakan
bahasa. Dalam lingkup makro, bahasa Inggris -yang secara konvensional adalah
bahasa internasional- dapat menyatukan satuan komunikasi individu dari berbagai
negara. Begitu juga dalam ruang lingkup mikro, bahasa Indonesia sebagaimana
tercantum dalam sumpah pemuda, telah menyatukan komunikasi antara beberapa
orang dari berbagai daerah yang terpisah oleh kondisi geografis, adat istiadat,
budaya dan lain sebagainya.
Dalam
dunia pendidikan, harusnya menjadi hal yang wajar jika penguasaan bahasa
seseorang dapat terlihat dari kemampuan berbahasanya. Aspek keterampilan
berbahasa dibagi menjadi empat, yakni: berbicara, membaca, menulis dan
menyimak. Sebuah asumsi penulis bahwa seseorang itu baru akan dikatakan
memiliki kemampuan suatu bahasa jika memiliki empat kemampuan tersebut. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahasa
yang digaungkan sebagai pemersatu tumpah darah ini juga memiliki empat
kemampuan yang menjadi ukuran atas penguasaannya. Dua macam kemampuan produktif
seperti menulis dan berbicara, dan dua macam kemampuan reseptif seperti seperti
menyimak dan membaca. Seseorang dikatakan mampu berbahasa Indonesia bukan hanya
ketika mereka mampu berbicara dengan bahasa Indonesia. Tapi juga bagaimana
mereka mampu menyimak dengan penguasaan intisari, fasih menggunakan berbagai
jenis kemampuan membaca, mampu berbicara dengan pertimbangan etika dan estetika
serta juga mampu mengomunikasikan pembicaraan dalam bahasa tulisan dengan mengatakan tidak pada plagiarisme.
Sekarang,
mari kita lihat penguasaan keterampilan berbahasa ini di negara kita. Ricuhnya
sidang anggota DPR dan kegagalan mengatasi perbedaan pendapat sampai dengan adu
fisik di kalangan elite membuktikan rendahnya kemampuan menyimak. Ada masa
dimana kita harus mampu ‘mendengar’ orang lain jika ingin suara kita didengar.
Namun yang kerap terjadi adalah hujan interupsi terjun bebas. Seolah-olah ingin
mengatakan bahwa pendapatnya lah yang paling baik. Tanpa kemampuan menyimak
ini, tidak akan mungkin seseorang bisa menghargai perbedaan pendapat. Padahal,
dalam komunikasi dua arah saja tidak akan mungkin terjadi jika keduanya
sama-sama berbicara. Perlu ada yang menyimak, baik itu menyimak dalam makna
semantik, atau dalam makna pragmatik dengan tolak ukur mampu menyimak “suara
hati rakyat”. Belum lagi tidur masal dan kasus menonton video porno yang
semakin mempertanyakan kemampuan menyimak pada bahasan sidang yang tengah
berlangsung.
Lain
lagi dengan kemampuan berbicara. Salah satu pertimbangan yang layak
diperhitungkan adalah kemampuan bicara dengan etika dan estetika. Kemampuan
berbicara kita masih kerap dibanjiri dengan stigma negatif tentang intervensi
bahasa. Suatu hal yang sebenarnya perlu kita pahami adalah, cinta bukan alasan
yang tepat untuk kita menutup diri. Mencintai bahasa Indonesia bukanlah alasan
yang tepat untuk kita menutup diri terhadap penguasaan bahasa Indonesia. Sering
kita jumpai saat seseorang mulai mempraktikkan bahasa asingnya, ia kerap
dipandang negatif tidak mencintai bahasa Indonesia. Padahal sebenarnya,
penguasaan bahasa asing dapat menjadi modal kita untuk dapat mengenalkan bahasa
kita pada dunia internasional. Perkembangan bahasa gaul, dialek dan prokem juga
perlu diawasi dan difilter sesuai kebutuhan dan penempatan. Intinya, jika
sesuatu diletakkan pada tempatnya, kenapa tidak?
Kemampuan
menulis kita juga sudah saatnya dievaluasi. Plagiarisme yang harusnya
diberantas belakangan malah tumbuh serupa benih yang mungkin subur jika tanpa
pakem dari rakyat. Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Indonesia Budget Centre (IBC) melaporkan
investigasi bahwa yang hasil studi banding ke luar negeri anggota DPR adalah
hasil copy-paste dari situs asing (www.id.berita.yahoo,8/5/2011).
Tulisan yang diduga hasil jiplak adalah hasil kunjungan Panitia Kerja RUU
Kepamukraan ke Afrika Selatan dan studi banding etika parlemen ke Yunani. Belum
lagi kurangnya minat menulis dan berkarya bagi pelajar dan mahasiswa. Padahal,
menulis merupakan kegiatan berbagi ide dan pemikiran kritis kita terhadap suatu
permasalahan melalui media tulisan. Seseorang yang gemar membaca, biasanya akan
dengan mudah mengakumulasi kosakata yang diserap dari hasil bacaannya itu ke
dalam bentuk tulisan. Kunci agar dapat lancar menulis adalah banyak-banyak
membaca. Ketika kita membaca, kita masuk ke dalam sebuah dunia yang ada di
dalam bacaan tersebut. Selain itu, membaca juga merupakan obat mujarab
mengatasi lupa. Jika mulai dari sekarang, Indonesia mulai bisa membudayakan
membaca sebagai kebutuhan seperti negara-negara berkembang seperti Jepang. Maka
tidak menutup kemungkinan, kualitas penulisan kita akan semakin meningkat dan
bertaraf. Kita juga boleh saja berharap akan dapat memili penulisan yang dapat
digunakan oleh penutur asing memperlajari bahasa kita, bahasa Indonesia.
Tentu
saja, kita punya banyak alasan untuk bangga memiliki bahasa Indoensia. Bangga
dalam artian sebenarnya. Bukan membangga-banggakan dengan konsep berlebihan
hingga antipati terhadap bahasa asing dan bahasa daerah. Contoh sederhana saja,
kita tidak mungkin pergi ke pasar Angso Duo dengan bertanya, “Berpakah harga
sayur ini satu kilo, Bu?”. Dari segi struktur memanga kalimat tada benar, tapi
bahasa yang benar belum tentu baik jika tidak disesuaikan dengan konteks. Maka
memang perlu kiranya kita berbahasa yang baik, tapi juga mengucapkannya di
tempat yang benar dan sesuai. Alasan lain kita perlu bangga terhadap bahasa
kita adalah fakta yang dikutip oleh Wikipedea adalah "Wikipedia Indonesia
kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia.
Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan
Mandarin". Selain itu Bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang paling
banyak digunakan pada wordpress. Dikutip dari blog tersebut, "fakta bahwa
setelah Spanyol, Bahasa Indonesia adalah Bahasa yang menempati urutan ketiga
yang paling banyak digunakan dalam posting-posting WordPress. Indonesia pun
adalah negara kedua terbesar di dunia yang pertumbuhannya paling cepat dalam
penggunaan engine blog itu. Dalam 6 bulan terakhir tercatat 143.108 pengguna
baru WordPress dari Indonesia dan telah ada 117.601.633 kunjungan melalui 40
kota di Indonesia".
Indonesia
melahirkan generasi seperti kita untuk ditugaskan sebagai pengguna yang baik
dan benar, menjaga dan terus belajar agar mampu mengenalkan bahasa ini ke dunia
yang lebih luas. Bahasa Indonesia juga harus punya masa depan. Sebaik-baiknya
masa depan adalah masa depan yang belajar dari masa lalu dan direncanakan dari
masa sekarang. Saya, sebagai generasi muda ingin sekali menjadi bagian dari
perencanaan dan duta yang mengenalkan bahasa kita ke ranah dunia namun tetap
berpegang pada nuansa budaya lokal, bahasa Indonesia.