welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

20.6.11

KAUM ELITE PUN PERLU BELAJAR BAHASA INDONESIA


Opini: Meila Rosianika

Manusia hidup dan tinggal dalam lingkungan yang heterogen. Setiap individu dipisahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun kelompok. Antara kepentingan satu orang tentu saja berbeda dengan kepentingan orang lain. Adakalanya kepentingan yang berbeda-beda itu memunculkan konflik, namun adakalanya juga kepentingan tersebut dapat saling mengisi dengan simbiosis mutualisme. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara kepentingan kita dengan kepentingan orang lain adalah dengan menggunakan bahasa. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer bersifat menjadi perantara untuk mengajukan suatu maksud atau menjadi media yang  menyatukan berbagai macam heterogenitas individu. Dalam lingkup makro, bahasa Inggris -yang secara konvensional adalah bahasa internasional- dapat menyatukan satuan komunikasi individu dari berbagai negara. Begitu juga dalam ruang lingkup mikro, bahasa Indonesia sebagaimana tercantum dalam sumpah pemuda, telah menyatukan komunikasi antara beberapa orang dari berbagai daerah yang terpisah oleh kondisi geografis, adat istiadat, budaya dan lain sebagainya.
Dalam dunia pendidikan, harusnya menjadi hal yang wajar jika penguasaan bahasa seseorang dapat terlihat dari kemampuan berbahasanya. Dalam bahasa Inggris, siswa disajikan materi seperti reading, writing, speaking dan juga listening. Sebuah asumsi penulis bahwa seseorang itu baru akan dikatakan memiliki kemampuan suatu bahasa jika memiliki empat kemampuan tersebut. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahasa yang digaungkan sebagai pemersatu tumpah darah ini juga memiliki empat kemampuan yang menjadi ukuran atas penguasaannya. Dua macam kemampuan produktif seperti menulis dan berbicara, dan dua macam kemampuan reseptif seperti seperti menyimak dan membaca. Seseorang dikatakan mampu berbahasa Indonesia bukan hanya ketika mereka mampu berbicara dengan bahasa Indonesia. Tapi juga bagaimana mereka mampu menyimak dengan penguasaan intisari, fasih menggunakan berbagai jenis kemampuan membaca, mampu berbicara dengan pertimbangan etika dan estetika serta juga mampu mengomunikasikan pembicaraan dalam bahasa tulisan dengan mengatakan tidak pada plagiarisme.
Tidak perlu menjabarkan terlalu banyak tentang penguasaan empat kemampuan tersebut yang harusnya dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Utamanya kaum elite DPR RI yang merupakan perwakilan dan menjadi contoh bagi rakyatnya. Ricuhnya sidang dan kegagalan mengatasi perbedaan pendapat sampai dengan adu fisik di kalangan elite membuktikan rendahnya kemampuan menyimak mereka. Ada masa dimana kita harus mampu ‘mendengar’ orang lain jika ingin suara kita didengar. Namun yang kerap terjadi adalah hujan interupsi terjun bebas. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa pendapatnyalah yang paling baik. Tanpa kemampuan menyimak ini, tidak akan mungkin seseorang bisa menghargai perbedaan pendapat. Padahal, dalam komunikasi dua arah saja tidak akan mungkin terjadi jika keduanya sama-sama berbicara. Perlu ada yang menyimak, baik itu menyimak dalam makna semantik, atau dalam makna pragmatik dengan tolak ukur mampu menyimak “suara hati rakyat”. Belum lagi tidur masal dan kasus menonton video porno yang semakin mempertanyakan kemampuan menyimak mereka pada bahasan sidang yang tengah berlangsung.
Lain lagi dengan kemampuan berbicara. Salah satu pertimbangan yang layak diperhitungkan adalah kemampuan bicara dengan etika dan estetika. Lalu, apakah beretika bila ketua DPR RI Marzuki Alie pernah berbicara “Cuma orang elite yang bisa bahas ini. Rakyat biasa nggak bisa dibawa. Rakyat biasa yang penting perut terisi” (www.detiknews.com,1/4,2011) ditengah-tengah panasnya pro-kontra pembangunan gedung baru dengan fasilitas yang diluar logika. Mungkin dapat dikatakan esensi pembicaraannya benar, mengingat mereka kaum elite adalah kalangan berpendidikan yang mampu membahas suatu usulan dan rancangan. Tapi cara bicaranya dengan diksi yang sedemikian kasar memperlihatkan si pembicara tidak mempertimbangkan perasaan pebicara dan subjek yang sedang dibicarakan. Bicara tanpa etika dan estetika sangat tidak layak dituturkan oleh penutur berjas rapi yang notabenenya adalah wakil rakyat.
Kemampuan menulis mereka pun patut untuk diragukan. Plagiarisme yang harusnya diberantas malah tumbuh serupa benih yang mungkin subur jika tanpa pakem dari rakyat. Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Indonesia Budget Centre (IBC) melaporkan investigasi bahwa yang hasil studi banding ke luar negeri anggota DPR adalah hasil copy-paste dari situs asing (www.id.berita.yahoo,8/5/2011).  Tulisan yang diduga hasil jiplak adalah hasil kunjungan Panitia Kerja RUU Kepamukraan ke Afrika Selatan dan studi banding etika parlemen ke Yunani. Dugaan ini tak mungkin muncul jika tak ada yang menghidupkan api kecurigaan publik terhadap kinerja mereka.  Jadi, sepertinya layak untuk dipertimbangkan bahwa belajar bahasa Indonesia bisa saja menjadi suatu usulan yang didaftarkan sebagai program kerja anggota DPR.

3.6.11

Pink-Addiction

 
I do not know since when starting to like this color. But now, I can no longer be separated from the pink. I am addicted and will never leave this beautiful color. So I like this, many viruses spread pink to the people closest to me.
 
My Stuff
With My Dearest
My Friends

My Students

We Are In "38"
With My Sister
and many more viruses that spread but I have not picked up a camera. Keep fighting my style of flying the national flag, pink!