welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

27.10.11

Perfect Life, Perfect Heart


Mungkin sebagian dari kita pernah ngebandingin hidup yang kita punya dengan hidup orang lain. Yup, we as a human kadang emang lirik-lirik ke yang orang lain punya dalam hidupnya. Tampilan yang oke, wajah yang imut atau gadget yang dipunya temen bisa aja ngebuat kita mupeng. Apa sikap itu salah? Nggak sepenuhnya juga sih. Setiap orang pasti pengen hidup yang sempurna. Kita udah nggak asing lagi dengan keinginan kebanyakan orang untuk punya hidup muda bahagia, tua kaya raya dan mati masuk surga. Kehidupan yang seperti itu terasa bener-bener sempurna kalo bisa kita rasain. Tapiii,  every dream has its own price. Tentu aja pada setiap keinginan kita itu ada harganya. Hidup yang sempurna nggak akan ada bagusnya kalo nggak diiringin dengan hati yang sempurna. Ada baiknya, ketika membandingkan hidup kita dengan orang lain itu bukan malah membuat kita jadi kurang bersyukur atas apa yang udah kita punya. Tapi justru sebaliknya. Melihat kehidupan orang lain bisa kita jadiin referensi yang nggak perlu banget dijadiin ajang keluh sana sini. It is life! Nggak mungkin semua orang punya hidup yang sama. Intinya, hati yang sempurna adalah hati yang sabar kalo lagi dapet kesusahan dan bersyukur kalo lagi dapet sesuatu yang nyenengin. Kalo udah punya hati seprti itu, yakin deh, sekalipun uang di dompet tinggal seribu juga kita tetep akan merasa punya hidup yang sempurna. What a perfect! 



Psstt, hidup kita bakal juga terasa sempurna kalo kita punya hati yang ikhlas buat saling tolong menolong lho. Be helpful!

19.10.11

Komitmen



Hari ini, Senin 17 Oktober 2011. Aku pulang lebih awal dari mengajar. Bukan karena tugasku telah selesai. Tapi karena punggungku masih terlalu sakit untuk kupaksakan beraktifitas. Aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk beristirahat. Tapi setidaknya seharian ini aku memiliki jeda waktu yang cukup panjang untuk sekedar mengingatmu.

Aku berbaring dengan selimut tebal ke arah langit di seberang jendela. Mataku basah. Di luar hujan. Dan dihatiku lalu lalang tentang keterbacaanku yang buta tentang masa depan. Keinginanku sederhana, aku ingin kau ada di masa itu.

Tadi malam kau dan aku berkomitmen tentang sesuatu. Katakanlah ini usaha dua anak manusia yang ingin menghindari dosa ketika sedang jatuh cinta. Tentu saja bagiku menyenangkan terus ada didekatmu. Sementara malaikat dan setan tetap ada, kita mungkin bisa saja khilaf  suatu hari jika kita tetap bertahan pada nama klise yang dikenal orang-orang sebagai... pacaran.

Istilah itu bukan pada menghidupi, tapi memiliki dengan tanpa hak milik. Sementara kau dan aku manusia biasa yang gampang sekali terbisik oleh sesuatu yang tidak-tidak jika kita biarkan saja semua seperti itu. Maka dari  itulah,  restorasi atas hubungan ini ku rasa perlu. Kita tak butuh ‘pacaran’ untuk saling mencintai.
Aku ingin mencintaimu dengan restu sang pemilik cinta di atas sana. Sebuah pernikahan sederhana yang membuatku bisa terus merasakan ciumanmu di keningku saat kita selesai shalat berjamaah. Tapi sungguh, dengan semua mimpi yang masih menuntut, kita masih belum bisa menuju pada ikatan itu.

Mungkin kau tahu, aku adalah wanita yang tak pernah ingin menjadi biasa. Menjadi seorang pekerja kemudian pulang. Atau mengisi kehidupan dengan teman yang itu-itu saja. Aku tak seperti itu. Aku punya banyak mimpi yang ingin ku penuhi di masa-masa sendiri. Menguasai toefl, melewati tesis, menjadi dosen muda, kemudian terbang ke suatu kota untuk menuntaskan hasrat belajar S3. Jika sekarang pekerjaan sampinganku adalah menulis di harian pagi dan siaran mingguan  di radio sambil mengajar dan menyelesaikan studi magister. Maka pekerjaan sampingan yang ingin ku miliki ketika mengajar di universitas sambil menyelesaikan studi doktoral nanti –jika tercapai- adalah ingin menulis buku dan siaran mingguan di TV.

Tentu saja aku bertanya, apakah bisa ku tebus mimpi itu bersamaan dengan mimpiku yang lain setelah kutemui kau dalam hidupku. Tinggal bersamamu di sebuah daerah –yang katamu- mungkin tak bisa kukembangkan kemampuanku atas peluang terwujudnya mimpi-mimpi selanjutnya. Kau harus tahu sesuatu, mimpiku tak mutlak. Kita akan menjadi kaku jika tak mampu fleksibel pada setiap obsesi.



Dulu seorang yang sukses pernah berkata padaku, mimpi jangan terlalu dikejar. Yang terpenting doa dan usaha maksimal atas yang terbaik. Aku mulai sadar bahwa tak semua mimpi itu baik. Sama seperti gula, manis tapi belum tentu baik. Sama seperti murid kelas tiga SD yang mencoba berdamai atas cita-citanya menjadi presiden ketika ia mulai mengenal sebuah realitas di usia dewasa. Ada masa dimana kita memang harus optimis tanpa mengabaikan sikap realistis.
Aku mungkin akan bahagia jika kudapati mimpiku tuntas. Tapi bahagiaku belum tentu baik.

Maka dari itulah ku serahkan hatiku padaNya. Istikharah dan sujudku mungkin memang belum terlalu sempurna. Tapi atas semua itu kurasai hati berpasrah. Dialah yang menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Semua digariskan atas suatu yang kita sebut sebagai jodoh yang telah ia tentukan. Tapi seperti kataNya juga. Ia tak kan mengubah nasib seseorang kecuali atas usaha seseorang itu sendiri. Adapun aku ingin usahaku, usahamu menemukan jodoh dalam satu sama lain adalah usaha yang baik. Kepasrahanku padaNya bukan berarti aku menyerah pada harap dan cita yang telah kubangun. Tapi aku mencoba untuk tidak terlalu rakus pada mimpi keduniawian. Sementara pernikahan adalah ibadah, yang bisa dilakukan bagi mereka yang telah merasa mampu. Sungguh, kadang aku pun merasa abuabu atas kemampuanku.

Lihatlah Fahd Jibran, penulis favoritmu itu. Aku salut pada pilihannya menikah di usia muda. Ia pasti punya pertimbangan sendiri atas kemampuannya. Tapi setidaknya usia dan emosi yang labil ketika muda memang bukan alasan yang terlalu tepat untuk menunda. Apalagi terus bertahan dalam suatu konsep hubungan yang salah dalam penundaan itu.

Maka kita pun mengambil jalan tengah. Kita tinggalkan saja suatu konsep hubungan klise ini. Kita adalah teman sekarang. Sembari menunggu waktu itu tiba, kita tetap saja berteman dalam komitmen yang baru.
Tapi sungguh jika suatu hari nanti kau telah merasa siap, bicaralah padaku. Aku tak berkeberatan ikut denganmu ke sana. Ke sebuah daerah dimana kemandirianku bersamamu akan menjadi sesuatu yang harus. Jika menuntut ilmu dan bekerja adalah ibadah, maka menjadi seorang istri yang solehah juga ibadah, kan? Bagiku tak jauh beda nilainya jika kukejar mimpiku untuk diriku sendiri atau mimpiku untuk bersamamu. Toh, dengan tercapainya sesuatu nanti, kita sebagai manusia kadang tetap saja merasa kurang.






Aku mencintaimu, dan sedang menahan rindu di hari ini. Semoga cinta dan rindu ini adalah sesuatu yang baik, temanku.

7.10.11

Xpresi Jambi Ekspres

















Yep, besides being a radio announcer and teacher, my other job is writing for Xpresi JE. I am proud for that.

*Psst, a poem titled "Aku Merah Muda" above is created by me too ;) Keep reading on us everyday yak!