welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

19.10.11

Komitmen



Hari ini, Senin 17 Oktober 2011. Aku pulang lebih awal dari mengajar. Bukan karena tugasku telah selesai. Tapi karena punggungku masih terlalu sakit untuk kupaksakan beraktifitas. Aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk beristirahat. Tapi setidaknya seharian ini aku memiliki jeda waktu yang cukup panjang untuk sekedar mengingatmu.

Aku berbaring dengan selimut tebal ke arah langit di seberang jendela. Mataku basah. Di luar hujan. Dan dihatiku lalu lalang tentang keterbacaanku yang buta tentang masa depan. Keinginanku sederhana, aku ingin kau ada di masa itu.

Tadi malam kau dan aku berkomitmen tentang sesuatu. Katakanlah ini usaha dua anak manusia yang ingin menghindari dosa ketika sedang jatuh cinta. Tentu saja bagiku menyenangkan terus ada didekatmu. Sementara malaikat dan setan tetap ada, kita mungkin bisa saja khilaf  suatu hari jika kita tetap bertahan pada nama klise yang dikenal orang-orang sebagai... pacaran.

Istilah itu bukan pada menghidupi, tapi memiliki dengan tanpa hak milik. Sementara kau dan aku manusia biasa yang gampang sekali terbisik oleh sesuatu yang tidak-tidak jika kita biarkan saja semua seperti itu. Maka dari  itulah,  restorasi atas hubungan ini ku rasa perlu. Kita tak butuh ‘pacaran’ untuk saling mencintai.
Aku ingin mencintaimu dengan restu sang pemilik cinta di atas sana. Sebuah pernikahan sederhana yang membuatku bisa terus merasakan ciumanmu di keningku saat kita selesai shalat berjamaah. Tapi sungguh, dengan semua mimpi yang masih menuntut, kita masih belum bisa menuju pada ikatan itu.

Mungkin kau tahu, aku adalah wanita yang tak pernah ingin menjadi biasa. Menjadi seorang pekerja kemudian pulang. Atau mengisi kehidupan dengan teman yang itu-itu saja. Aku tak seperti itu. Aku punya banyak mimpi yang ingin ku penuhi di masa-masa sendiri. Menguasai toefl, melewati tesis, menjadi dosen muda, kemudian terbang ke suatu kota untuk menuntaskan hasrat belajar S3. Jika sekarang pekerjaan sampinganku adalah menulis di harian pagi dan siaran mingguan  di radio sambil mengajar dan menyelesaikan studi magister. Maka pekerjaan sampingan yang ingin ku miliki ketika mengajar di universitas sambil menyelesaikan studi doktoral nanti –jika tercapai- adalah ingin menulis buku dan siaran mingguan di TV.

Tentu saja aku bertanya, apakah bisa ku tebus mimpi itu bersamaan dengan mimpiku yang lain setelah kutemui kau dalam hidupku. Tinggal bersamamu di sebuah daerah –yang katamu- mungkin tak bisa kukembangkan kemampuanku atas peluang terwujudnya mimpi-mimpi selanjutnya. Kau harus tahu sesuatu, mimpiku tak mutlak. Kita akan menjadi kaku jika tak mampu fleksibel pada setiap obsesi.



Dulu seorang yang sukses pernah berkata padaku, mimpi jangan terlalu dikejar. Yang terpenting doa dan usaha maksimal atas yang terbaik. Aku mulai sadar bahwa tak semua mimpi itu baik. Sama seperti gula, manis tapi belum tentu baik. Sama seperti murid kelas tiga SD yang mencoba berdamai atas cita-citanya menjadi presiden ketika ia mulai mengenal sebuah realitas di usia dewasa. Ada masa dimana kita memang harus optimis tanpa mengabaikan sikap realistis.
Aku mungkin akan bahagia jika kudapati mimpiku tuntas. Tapi bahagiaku belum tentu baik.

Maka dari itulah ku serahkan hatiku padaNya. Istikharah dan sujudku mungkin memang belum terlalu sempurna. Tapi atas semua itu kurasai hati berpasrah. Dialah yang menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Semua digariskan atas suatu yang kita sebut sebagai jodoh yang telah ia tentukan. Tapi seperti kataNya juga. Ia tak kan mengubah nasib seseorang kecuali atas usaha seseorang itu sendiri. Adapun aku ingin usahaku, usahamu menemukan jodoh dalam satu sama lain adalah usaha yang baik. Kepasrahanku padaNya bukan berarti aku menyerah pada harap dan cita yang telah kubangun. Tapi aku mencoba untuk tidak terlalu rakus pada mimpi keduniawian. Sementara pernikahan adalah ibadah, yang bisa dilakukan bagi mereka yang telah merasa mampu. Sungguh, kadang aku pun merasa abuabu atas kemampuanku.

Lihatlah Fahd Jibran, penulis favoritmu itu. Aku salut pada pilihannya menikah di usia muda. Ia pasti punya pertimbangan sendiri atas kemampuannya. Tapi setidaknya usia dan emosi yang labil ketika muda memang bukan alasan yang terlalu tepat untuk menunda. Apalagi terus bertahan dalam suatu konsep hubungan yang salah dalam penundaan itu.

Maka kita pun mengambil jalan tengah. Kita tinggalkan saja suatu konsep hubungan klise ini. Kita adalah teman sekarang. Sembari menunggu waktu itu tiba, kita tetap saja berteman dalam komitmen yang baru.
Tapi sungguh jika suatu hari nanti kau telah merasa siap, bicaralah padaku. Aku tak berkeberatan ikut denganmu ke sana. Ke sebuah daerah dimana kemandirianku bersamamu akan menjadi sesuatu yang harus. Jika menuntut ilmu dan bekerja adalah ibadah, maka menjadi seorang istri yang solehah juga ibadah, kan? Bagiku tak jauh beda nilainya jika kukejar mimpiku untuk diriku sendiri atau mimpiku untuk bersamamu. Toh, dengan tercapainya sesuatu nanti, kita sebagai manusia kadang tetap saja merasa kurang.






Aku mencintaimu, dan sedang menahan rindu di hari ini. Semoga cinta dan rindu ini adalah sesuatu yang baik, temanku.

4 komentar:

  1. sabar bu.. raihlah cita-cita itu semampumu..

    BalasHapus
  2. pilihan yang sulit yo mei... keep spirit.. mano jurus renjernyo.. ha ha.. kalo berusaha untuk baik kenapa selalu sulit, jawabannya supaya kita menjadi lebih kuat.. moga semua yang mei pilih dalam hidup mei adalah pilihan yang terbaik, but teruslah bermimpi.. (makasih telah menginspirasi kk untuk bermimpi)

    BalasHapus