Oleh:
Meila Rosianika
Tidak asing lagi di telinga kita
mengenai pendidikan berkarakter. Di sekolah-sekolah mulai gencar menanamkan karakter dalam setiap perencanaan pembelajaran. Ya,
pengawas sekolah yang datang mengawas di sebuah sekolah kerap menanyakan
karakter apa yang akan dibangun oleh seorang guru pada setiap kompetensi dasar
mata pelajaran. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan
di Indonesia. Jelas
dengan dasar hukum seperti itu, tenaga pendidik memiliki tugas yang tidak
ringan. Yakni mendidik generasi penerus bangsa dan membentuknya menjadi insan
yang berdaya saing di masa yang akan datang. Satu hal yang perlu disadari
adalah, tidak ada yang pasti di masa depan. Ilmu yang diajarkan hari ini
bersifat dinamis, terus berkembang seiring perkembangan zaman. Itulah kenapa
titik berat pendidikan bukan sekedar kognitif saja. Melainkan penanaman
bagaimana cara bersikap dan memiliki keterampilan. Dalam hal ini, guru tidak
cukup memberikan contoh, namun harus mampu menjadi contoh.
Selain itu,
merujuk pada pasal 3 UU Sisdiknas tertulis, “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hal inilah yang mendasari
adanya tuntutan “Berkarakter” dalam sistem pendidikan kita. Memang, pada lembar
perencanaan tertulis beragam karakter (yang direncanakan) akan diberikan kepada
peserta didik. Namun, dalam implementasinya mari kita analisis satu persatu.
Sudahkah sekolah-sekolah yang berlabel penanaman karakter benar-benar telah
membentuk karakter?
Pertama, sistem penerimaan siswa baru di sekolah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak beberapa oknum yang memasukkan anaknya
di sekolah favorit dengan “jalur belakang”. Dari Sengeti dikabarkan pihak
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Sengeti Kabupaten Muarojambi, diduga melakukan
penerimaan siswa baru lewat jalur belakang. Padahal jadwal penerimaan siswa
baru sudah lewat sejak beberapa waktu lalu. (www.jambiekspres.co.id, 16 September
2011). Bahkan sejumlah
sekolah mematok harga Rp 5 juta bagi calon siswa baru yang tidak lulus PSB (Kabarindonesia.com,14 Juli 2008). Dari situs tersebut dipaparkan bahwa
siswa yang tidak lulus PSB atau Penerimaan Siswa Baru dapat masuk dengan
keharusan membayar
lebih. Padahal, biaya masuk di salah satu sekolah negeri tersebut kalau
lulus berdasarkan prosedur hanya Rp 1.020.000. Dari
sini kita bisa melihat bahwa proses penjaringan dengan sistem sekolah negeri
kita masih rawan dengan praktik curang oknum-oknum tertentu. Itupun dengan
tujuan yang hanya untuk menjaring input yang maksimal. Prosesnya? Belum tentu.
Ketersediaan sarana dan prasarana canggih dengan uang pembangunan yang sangat
tinggi saja bukan menjadi jaminan sesuainya layanan belajar yang disediakan
pihak sekolah.
Adanya sistem persyaratan standar nilai tes
kognitif juga merupakan suatu syarat
masuk ke dalam beberapa sekolah yang (katanya) unggul. Padahal, hal ini secara
langsung mengimplikasikan bahwa sekolah tersebut bukan unggul di dalam proses,
melainkan hanya –sekali lagi- unggul dalam input atau siswa yang masuk saja.
Sekolah yang benar-benar unggul harusnya tidak hanya semata-mata menilai
kemampuan kognitif siswa baru yang akan masuk, tapi harusnya mampu memberikan
suatu sistem tes kecerdasan majemuk agar dapat disesuaikan dengan klasifikasi
gaya belajar siswa. (cari macam-macam gaya belajar). Belajar dari negara Singapore, dimana strategi
yang dapat digunakan dalam pembelajaran di sana meliputi co-operative
learning, whole-brain processing, dan experiential learning. Penerapan
strategi tersebut harus mempertimbangkan perbedaan gaya
belajar, minat dan tingkat kematangan siswa. Michael
Grinder, pengarang Righting Education
Conveyor Belt, mencatat ada tiga modalitas belajar yaitu visual,
auditorial dan kinestik.
Belajar visual yaitu belajar dengan cara
melihat (menggunakan mata), modalitas belajar auditorial yaitu belajar dengan
cara mendengar (menggunkan telinga), sedangkan modalitas kinestik yaitu belajar
dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh (menggunakan tangan).
Identifikasi gaya belajar tersebutlah yang akan
membuat sekolah harus mengunggulkan diri dalam proses pembelajaran, bukan
menekankan pada input pembelajaran. Lalu, bukankah menurut Herbert Spencer
tujuan utama pendidikan tidak hanya pengetahuan, melainkan juga tindakan. Permendiknas
No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses juga mengisyaratkan
bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru sebaiknya dapat
memperhatikan karakteristik siswanya. Karakter semacam apa yang akan dibangun pada sistem penerimaan siswa
baru yang seperti ini? Karakter yang terobsesi pada hasil, bukan proses.
Karakter diskriminatif bagi siswa berkognisi rendah yang tak lulus sekolah
unggul karena (katanya) mereka bodoh. Padahal sudah jelas bahwa tidak ada siswa
yang bodoh. Howard Gardner dalam buku ‘Intelligence
Reframed : Multiple Intelligence for The 21st Century’ (1999) menjelaskan
sembilan kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk tersebut antara lain;
kecerdasan verbal linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis mathematis (cerdas
angka), kecerdasan visual spasial (cerdas gambar), kecerdasan musikal
(cerdas music/lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal
(cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis
(cerdas alam), dan kecerdasan eksistensial (cerdas hakekat).
Jadi
sebenarnya tak ada siswa bodoh dalam pembelajaran. Seluruh siswa pasti pintar
dan cerdas menurut kecenderungan masing-masing. Karena itu, pola serta gaya
belajar berperanan penting. Anak
kinestetik, misalnya, akan lebih cepat menghafal bila
disertai olah tubuh atau gerakan. Jadi, gaya belajar anak kinestetik harus disertai
gerakan atau olah tubuh. Itulah kenapa seharusnya siswa
dibagi perkelas bukan berdasarkan kemampuanya, melainkan kecendrungan gaya
belajarnya. Munif Chatib juga menggelorakan dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” bahwa sekolah
unggulan adalah sekolah yang memanusiakan manusia. Hal ini berarti setiap instansi
pendidikan harusnya menghargai setiap
potensi siswa. Tercermin apabila suatu sekolah membuka kesempatan yang
lebar bagi semua siswa. Bukan menyeleksi
melalui tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka untuk menyatakan batasan
diterima atau tidak. Perbedaan gaya belajar siswa ini yang
seharusnya merupakan layanan ekstra pendidikan suatu sekolah. Bukan sekedar tidak
mau repot dengan hanya menerima kategori siswa berIQ tinggi saja.
Kedua, pendidikan berkarakter harusnya mengenal
prinsip keseimbangan. Belajar memang merupakan kebutuhan, tapi tentu diselingi
dengan jeda guna mengistirahatkan diri dari penatnya tumpukan materi. Ada
pepatah yang mengatakan bahwa mundur satu langkah kadang juga diperlukan untuk
dapat maju seribu langkah. Jam belajar di Indonesia dikenal padat. Siswa diberi
libur satu hari saja dalam seminggu. Itupun tak jarang suatu sekolah memanfaatkan hari Minggu
untuk mengambil nilai praktik Pendidikan Jasmani dan Olahraga atau kegiatan
ekstrakulikuler lainnya. Padahal, jika
kita mau belajar dari negara yang memiliki pendidikan maju, Jepang, mengurangi
hari belajar menjadi 5 hari, sejak 2002. Di sana juga mengenal Kokoro no
Note, yakni meningkatkan pendidikan karakter melalui program pembagian
laptop untuk pendidikan moral dan Kokoro ni Sensei (Pengembangan pendidikan
moral di kalangan pendidik). Orientasi dengan skala internasional juga tak
tanggung-tanggung. Dari Laporan Studi Benchmarking Program BERMUtU 2010 Ditjen
PMPTK dan Balitbang memperlihatkan bahwa di SMA Saikyo Kota Kyoto memiliki
keunikan tersendiri, yaitu mata pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan di
sekolah harus digalakkan, dengan maksud agar sekolah ini dapat
berkepribadian secara nasional dan internasional.
Keunikan lain dari sekolah tersebut adalah “enterprising
education”, yang merupakan pendidikan yang mengarahkan siswanya pada
peningkatan kemampuan (kecerdasan). Pengembangan ini dilakukan dengan
bekerjasama dengan pengusaha di Kyoto, Toshiba dan Kansai. Strategi
pembelajaran yang dilakukan guna mendukung program ini, antara lain melalui
pengembangan English Communicative Competency (ECC), yang ditangani oleh
4 native speakers untuk 800 orang siswa. Program ini diarahkan pada
penggunaan e-learning dan didukung dengan Kamus Jepang dan Inggris, dan
200 komputer. Sistem pembelajaran ECC adalah lebih menekankan pada “how to speak dari pada what to
speak”. Kita di sini masih berkutat pada pelatihan penggunaan Teknologi dan
Informasi Komputer atau TIK untuk guru. Sudah menjadi rahasia umum setelah
pelatihan ini jarang ada evaluasinya. Tenaga pendidik yang telah dilatih dengan
menggunakan dana negara kadang juga kerap masih menggunakan sistem tradisional
ceramah daripada harus repot-repot membuat halaman atau video dalam
mengembangkan e-learning.
Sebagai solusi, hendaknya pemerintah kita harus melakukan
penentuan secara terperinci apa sebenarnya tujuan dari pendidikan karakter yang
ingin dikembangkan oleh negara kita. Tujuan pendidikan sebagaimana terdapat
dalam UU Sisdiknas sepertinya masih terlalu umum.
Padahal, dalam
kerangka pengembangan pendidikan karakter
sangat perlu untuk menetapkan secara jelas apa tujuan
pendidikan karakter. Setali tiga uang dengan Jepang, Cina pada tanggal 1
Februari 2000, Presiden Jiang Zemin mengumpulkan
semua anggota Politbiro khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban
pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan
menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif
(intelektual), karakter, estetika, dan fisik (atletik).
Mengurangi jam belajar bukan berarti membudayakan rasa
malas. Justru rasa malas belajar bisa saja terjadi
akibat kebosanan yang dialami oleh siswa. Memang hal ini tidaklah mudah.
Perombakan sistem secara besar-besaran pasti memiliki pro dan kontra. Reformasi birokrasi masih
terlalu alot untuk dijejali dengan reformasi dalam bidang pendidikan. Namun tentu saja
pendidikan bukan hanya untuk masa sekarang dan beberapa yang akan datang saja.
Para pemangku kebijakan perlu memikirkan lagi mengenai efisiensi waktu belajar
guna meraih hasil yang tetap efektif. Bukan kejenuhan dan uap mengantuk siswa
pada jam-jam yang –harusnya- produktif digunakan untuk belajar.
Ketiga, sistem evaluasi pendidikan. Karakter ini itu bisa saja
tertulis dalam RPP atau Rencana Pelaksanaan Pendidikan. Tapi akankah karakter
tersebut tertanam dan terevaluasi dengan sistem pendidikan yang mengandalkan
Ujian Nasional sebagai instrumen evaluasi pendidikan? Pemikiran tetang UN lahir pada tahun
2003 dan masih berlanjut sampai sekarang sebagai produk dari kebijakan
pemerintah yang menyiratkan “Keharusan lulus walaupun curang”. Ujian Nasional cukup
mencederai sistem pendidikan kita. Dengan adanya standar ini, intervensi bukan
hanya kepada siswa, melainkan juga kepada guru, kepala sekolah dan sekolah itu
sendiri secara umum.
UN membuat beberapa
sekolah menghalalkan berbagai cara agar siswanya menjadi lulus. Di luar logika,
keharusan secara tidak langsung ini benar-benar tidak sesuai dengan kurva
normal. Dalam hukum alam, adalah wajar jika siswa dalam suatu sekolah memiliki
kemampuan yang beragam. Ada siswa yang kecendrungan berkognitif tinggi, namun
ada juga yang tidak. Memang, telah ada peraturan
baru untuk UN. Jika sebelumnya kelulusan siswa SD, SMP, maupun SMA sederajat
ditentukan oleh pemerintah dengan bobot 100%, selanjutnya mengalami perubahan
menjadi 60%. Sedangkan 40% lainnya ditentukan sekolah berdasarkan hasil Ujian Akhir
Sekolah (UAS) dan nilai rapor siswa yang bersangkutan selama menuntut ilmu di
sekolah. Namun, Ujian nasional tidak cukup mewakili penilaian autentik yang ditujukan dalam
pendidikan berkarakter. Karakter apa yang ditanamkan di tengah hingar bingar
kebocoran kunci jawaban? Kebiasan
menyontek asal jangan sampai malu tidak lulus? Saat beberapa oknum guru juga
mulai menghalalkan berbagai cara. Pendidikan seharusnya lepas dari
kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Dampak pelaksanaan UN juga
menimbulkan efek domino. Adanya kecemasan siswa tentu saja mengganggu
psikologis dan perkembangan seorang peserta didik. Namun pemerintah melalui
BSNP tetap berkeyakinan bahwa UN merupakan salah satu cara yan paling efektif
untuk mengukur standar pendidikan pada seiap sekolah yang ada. Bahkan UN
merupakan amanat dari PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP).
Kemudian, dengan pakta integritas UN jujur tidak sepenuhnya
jaminan. Selembar kertas sebenarnya sama sekali tak berhak menentukan masa depan
siswa. Sebagai contoh saja kerap sekali ditemukan siswa yang dalam
kesehariannya biasa saja namun mendapatkan nilai tertinggi UN di suatu sekolah.
Bukan meragukan, tapi hal ini tak dapat diterima akal sehat. Juga masih segar di ingatan kita mengengai penangkapan seorang mahasiswa yang menjual kunci jawaban kepada siswa di salah satu
sekolah negeri di Jambi beberapa waktu yang lalu.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menemukan bukti kecurangan dan kebocoran
soal dan kunci jawaban pada pelaksanaan ujian nasional untuk jenjang SMP. Hasil
investigasi ICW menemukan bocoran soal dan kunci jawaban telah diberikan kepada
siswa satu hari sebelum ujian. Bocoran diperoleh siswa dari guru dan guru
memperoleh bocoran dari pegawai tata usaha.
Inikah karakter jujur yang
dimaksud? Ing Ngarso sung Tulodo, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. (Di depan memberi teladan, di
tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Jika
memang UN tidak bisa ditiadakan, maka sistem pendidikan yang merakyat dan
merata haruslah segera diterapkan. Bukan mempolitisasi dunia pendidikan seperti
barang dagangan. Input, proses dan output pendidikan adalah tiga faktor
penting. Kita tidak bisa semaunya saja memilih-milih input. Karena seluruh
warga Negara Indonesia berhak sekolah dan merasakan pendidikan. Namun proses
yang tepat, tentu saja akan menuai hasil yang bermanfaat.