welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

30.4.11

Marry me


Kau pasti kaget saat ku katakan tentang pernikahan. Ah, jelek. Umurku masih hijau dan terlalu berani mengatakan hal itu. Apalagi bicara soal modal. Bahkan modal nyali pun aku belum punya. Mau makan cinta saja (katanya) tak kenyang. Lalu kenapa aku membicarakannya, ya? Akan ku ceritakan kepadamu bahwa kadang aku terlalu takut. Bukan. Aku bukan penakut, tapi hanya sedikit takut. Takut jika kita nanti tidak... berjodoh.

Hei, siapa suruh ke-PD-an begitu. Kau pasti mengira aku ingin sekali (atau cinta sekali) ingin berjodoh denganmu, kan? Sekali lagi bukan. Aku sebenarnya tidak benar-benar mencintaimu. Tapi aku benar-benar mencintai diriku sendiri yang ku lihat ada di dirimu. Kau bisa katakan ini dengan cinta pada suatu persepsi yang bergantung pada kita sendiri. Cinta yang semata-mata tidak bergantung pada apa yang kita cintai. Seseorang  pernah bilang, ketika mencintai seseorang, cinta yang sebenarnya bukan terletak pada orang itu. Tapi terletak pada kita sendiri. Maksudku di sini, ketika kau melakukan hal-hal yang membuatku sakit hati misalnya. Aku akan tetap mencintaimu (walaupun tentunya dengan sedikit marah dan kesal). Karena cintaku terletak di hatiku, dariku dan untukku yang ada di dirimu.

Kemarin aku mendengar cerita dari salah seorang seniorku. Ia menikah di usia yang terlalu matang. Tentu saja matang dalam banyak hal. Apakah ia bahagia dengan pernikahan yang -agak-sedikit- terlambat dibanding usia orang-orang menikah lainnya? tentu saja iya. Ia bahagia, walaupun dengan kebahagiaan yang terlambat, katanya. Ia sering mengatakan, kalau saja dulu menikah lebih cepat, mungkin anaknya sudah besar seusiaku sekarang. Lha, apalagi ini. Aku memikirkan bahwa menikah di usia yang terlalu matang itu menyenangkan. Tapi faktanya mereka yang menikah di usia itu (katanya) memiliki kebahagiaan yang terlambat.

Ada juga temanku, menikah muda. Ia mengaku sangat bahagia. Juga bersyukur dengan kebahagiaan yang datang dengan cepat. Ah, apakah menikah itu bahagia? Bagiku ini bukan soal bahagia yang terlambat atau terlalu cepat. Ini soal, menikah itu bahagia.

Kenapa?
Menikah itu bahagia karena kita tidak perlu lagi takut kalau kalau kita tak berjodoh. Dalam buku 'The Magical of Big Thinking', aku membaca bahwa ketika kita ragu akan sesuatu, kita lakukan saja keraguan itu sekalian. Maka ragu akan segera hilang. Yah, mungkin saja dengan menikah, aku tak perlu ragu lagi kau ini jodohku atau bukan.

Menikah itu bahagia karena walaupun-katanya kita akan menghadapi seribu kali masalah rumah tangga, kita tidak menghadapi sendiri. Aku mungkin tidak perlu lagi ragu bercerita tentang sesuatu. Ah, masih terlalu banyak yang ingin aku ceritakan tapi aku terlalu tertutup. Bukan aku tak percayaa padamu, tapi kau dan aku punya batas yang tidak bisa (dan tidak boleh) kita langgar.

Menikah itu memang bahagia.
Kalau kita sudah merasa mampu.
Dan kita akan menghargai kebahagiaan dengan menebusnya lewat ketidakbahagiaan yang membahagiakan.

Decision to marry isn't about time, it's about readiness.
So please say you'll marry me. Of course, not now. In the right time... someday.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar