welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

9.11.10

Izinkan aku menangis, Merapi!

Cerpen; Meila R




Aku terbangun dengan kepala yang sangat pusing. Bau busuk terasa menyengat disekitar tempatku tertidur. Entah aroma macam apa yang ku dapati. Yang jelas, nafas sesakku satu persatu mengungkapkan ketidaknyamanan. Pertanyaan paling klise yang melintas di benakku adalah, dimana aku? Ya, wajar saja kalau aku bertanya dimana aku. Apa aku ada di surga atau neraka. Seingatku, awan yang datang ke rumahku bukan berwarna vanila. Tapi berwarna perak pudar. Abu. Gelap. Panas.

Tak jauh dari tempat aku melontarkan pertanyaan baku nan pilu itu, beberapa orang di sekitarku aneh-aneh saja. Seorang anak lelaki menyudut di tepi ruangan. Melipat kakinya rapat dalam diam. Tatapnya kosong. Siapa bapaknya? Mana keluarganya. Silakan tanya pada tuan kami, Merapi. Di sudut lain ada mayat miris kaku. Tak berbentuk lagi rupanya. Ternyata itu sumber bau ruangan pengap ini. Dari pengetahuan awamku, ini adalah rumah sakit. Namun, sepertinya sekarang lebih mirip tempat penampungan korban bencana. Analogiku boleh juga, tempat ini memang tempat penampungan bencana. Merapi kami sedang sedikit 'menegur' sapa kami dengan amuknya.

Sore kemarin, aku baru saja memberi makan ternak kebanggaan keluarga kami. Suasana mendekati senja. Temaram di perkampungan tanah lahirku begitu sepi. Kampungku kala itu tak seramai biasa, karena beberapa warga telah pergi dievakuasi untuk mengungsi. Aku hanyalah gadis berusia awal dua puluh yang hanya tinggal dan hidup di desa. Menurut saja pada apa yang orang tuaku katakan. Mereka bilang tidak mengungsi, ya akupun tidak. Walau beberapa teman telah mengajakku serta saat mereka melintas di halaman rumah. "Ayolah Lastri, ojo nengkene wae to. Sampean gelem dipateni karo merapi?" kata Surti padaku. Aku hanya mengeleng dan bilang "Ndak ah, mengkolah sesok-sesok. Lha wong bapak karo ibuk ndak boleh kok yoo". Mereka menyipitkan mata dan berkata, "Yo wes lah nek ngono. Seng ati-ati yo nengekene". Aku meneruskan perhatianku pada kebo. Aroma teh ala ndeso menyeruak. Ibuk lagi membuat teh bapak saat serangan merapi datang. Aku sempat mendengar suara ibuk mengucapkan istigfar sebelum semua lenyap dan mendadak gelap. Aku tak melihat apa-apa selain rasa pekat.

Ahhhhh, perih sekali pipiku. Padahal air yang mengenainya adalah air yang biasanya jatuh dari mata seseorang yang mengingat kejadian pilu dalam hidupnya. Oh, suara tangisan pilu di sudut sana. Janganlah ribut sekali. Aku juga sedang menangis. Tapi kenapa perih sekali. Sakit. Sakit sekali ketika menyadari semua sekujur tubuhku juga perih. Ya, penjelasan dari perempuan muda berpakaian putih mengatakan bahwa aku tak boleh menangis terlalu banyak. Luka bakarku hampir tujuh puluh persen. Tentu saja, termasuk pada bagian wajahku.

Kemudian ingatanku melayang-layang pada kampungku di bawah kaki Merapi. Di sana aku dilahirkan dari rahim ibuk. Aku tumbuh memasuki masa mengaji di langgar bersama teman-teman. Tiap sore, aku dan konco-konco main-main di persawahan. Kata orang kota yang pernah singgah di desa kami, desa kami adalah desa yang indah. Jauh dari kebisingan kota. Ah, kota itu seperti apa coba? Aku malas sekali melihat kota. Pengalaman pahitku ada di sana.

Waktu umurku belasan tahun. Lulus SMP dan orang tua tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah lagi. Mimpi kali bisa kuliah di gedung megah. Mau nafas aja susah. Payah. Serta selalu gelisah kalo-kalo bapak dan ibu tidak ada uang makan di sela-sela hari nanti. Tapi aku tidak menyerah. Kata pak Budiman, guru Bahasa Indonesiaku di SMP, menyerah itu sifat orang kalah dalam kehidupan. Aku kemudian pergi ke kota, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di sebuah keluarga kaya raya di Jakarta. Mereka selalu membuatku iri saja dengan materi yang mereka punya.

Aku menyapu, mengepel, mencuci dan melakukan pekerjaan rumahan lain. Gajiku lumayan bisa buat nabung. Kalian tahu, aku menabung buat apa? Buat memberangkatkan haji bapak ibuk! Ya ya ya, aku tahu, tak seberapa tabunganku sebagai pembantu ketika itu dibandingkan ongkos berangkat haji. Tapi kan aku sudah bilang, aku tidak akan menyerah. Hatiku miris ketika ibuk menceritakan tetangga kami berangkat haji dan betapa inginnya ia juga pergi ke tanah suci. Belum lagi bapak yang kadang curhat sama kebo. “Bo, mengko koe nek uwes larang tak dol yo! Nggo mangkat haji” kata bapak suatu ketika aku tak sengaja mendengarnya diam-diam. Dimana perasaan hati seorang anak jika tahu betapa kondisi ekonomi bapak ibuknya jadi penghalang ke tanah suci. Makanya, aku pernah nekat ke Jakarta jadi pembantu.

Tapi apa lacur? Begitulah Jakarta. Begitulah Indonesia. Bagitulah berita-berita. Korupsi seperti suatu legalitas yang dipunya. Ciri khas sebuah jabatan. Majikan saya menuduh saya mengambil kalungnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, datanglah tiba-tiba badai. Lha wong nggak ngapa-ngapain kok dituduh aja. Aku sempat ditahan polisi sebelum akhirnya dibebaskan karena tidak bersalah. Ya iyalah. Aku nggak maling apa-apa kok main tuduh dan penjara aja. Mentang-mentang aku orang miskin nggak punya uang. Tu bapak-bapak yang nangkep aku mana mau denger. Yang mereka denger mungkin orang yang punya uang banyak aja kali ya. Katanya kan hukum bisa di beli. Percaya nggak percaya memang begitu hokum di sini. Lebih sadis dari hokum rimba katanya. Apa itu hukum? Ya mana aku tahu. Catet, aku kan lulusan SMP. Ndak ngerti pasal-pasal macam apa yang mereka katakan itu.

Eh, selidik punya selidik. Anaknya terlibat kasus narkoba yang ngambil tu kalung. Ndak lama kemudian, Majikan saya wara-wiri di TV dengan label tersangka kasus korupsi. Aku yakin, nggak semua keluarga di kota seperti itu. Tapi pengalaman buruk di Jakarta berbekas membuatku pulang lagi ke kaki merapi. Gedung-gedungnya aja tinggi, emosi dan korupsi penghuninya juga tinggi.

Makanya setelah dari kota, aku ndak berani lagi pergi jauh-jauh dari nih kampung. Mbakyuku yang jadi TKW di luar negeri ndak pulang-pulang. Mboten ngerti lah gawe opo. Kasian bapak ibuk kalo tak tinggal. Aku menetap di sini sampai Merapi mengusir kami. Meluluhlantakkan apaapa yang aku punya. Keluarga, rumah, si kebo dan… Ah, tu kan aku mau nangis lagi. Perih luka bakar, perih hati yang terbakar.

Bapak Ibuk dimana? Seolah semua lenyap tak bisa ku baca dalam jejak kaku abu. Yang jelas, ada dua mayat kaku ditemukan di kolong ranjang rumahku. Kondisinya tak dapat dikenali. Makanya, aku tetap tak terima kedua mayat itu mayat bapak sama ibuk. Bagiku, mereka sekarang selamat. Mereka di puncak merapi sedang menuju sorga, bukan dengan raga kaku mayat itu. Mereka baik-baik saja.

Ah, tu kan aku menangis lagi. Merapi, bagaimana bisa aku tidak menangis. Kau telan dalam material yang tak pernah ku mengerti. Wajarlah, aku ndak ngerti. Aku cuma lulusan SMP yang katrok. Kenapa kau begitu padaku, Merapi. Luka hati membuat nangis. Luka bakar malah tak boleh menangis. Kemana aku setelah ini? Mbakyu, mbok eling bali to yo. Adimu iki ra nduwe opo-opo saiki. Bapak, Ibuk sama kebo uwes dipateni, Mbak.

Aku hanya ingin menangis, Merapi.

Samar-samar ku lihat dari jendela rumah sakit, ada bendera partai. Sudah banyak pejabat yang membantu rupanya. Tapi pamrih label partainya juga ndak ketinggalan.

2 komentar:

  1. bagus mel,,,, smuanya dapet,,,, pesennya dpt, karakternya dapet,,, keren,,, :)

    BalasHapus