welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

18.4.11

Kau bukan bang Toyib (im sure!)


Tentang harihari yang penuh dengan kebaikan, harapku.

Suatu pagi yang rintik. Sedikit kabut menguap basah bersama tetes embun.  Ini  minggu ke empat kau tak pulang, jelek. Mungkin terlalu dangkal jika ku katakan aku merindukanmu. Tapi rasa itu menyelinap dalam baku tata bahasa. 

Jeda
Ya jeda inilah yang kadang membuatku menjadi bosan. Kita adalah dua berkawan yang berdiri di atas kapal yang belum terlalu kuat. Pada kedalaman yang sewaktuwaktu bisa mematikan. Atau mungkin saja kita bisa berhenti saja pada perjalanan yang belum jelas ini? Merakit perahu sendirisendiri lalu mendayung dengan pelan. Tapi bukankah ombak masih akan tetap tinggal di sana. Sebelum sampai, mungkin bisa saja ku temukan kapal lain yang lebih kokoh –atau justru lebih patah- yang membawaku ke sebuah pulau yang indah. Mungkin setiap hari aku bisa berjalan-jalan. Ah, kau jarang sekali membawaku jalanjalan, jelek.  Pernah suatu kali  mereka bilang akan menunggu masa dimana aku berkapal sendiri. Apa aku sering membandingkan? Apa aku sering merasa kalau sebentar lagi kau juga menimbangnimbang? Tentu saja iya.

Maaf.

Jika pernah terlintas dalam roda kapal itu untuk menyakitimu. Sayup suara lamatlamat mengisayaratkan kita untuk mulai belajar menambalkan setiap celah yang datang entah dari mana. “Ingatkan aku”, katamu. Lalu bagaimana jika aku lupa juga. Mungkin kita akan sama saja dengan dua orang lupa yang menggila dan saling berpegangan tangan. Sewaktuwaktu jika celah yang ada membuatnya terbelah. Mungkin aku akan marahmarah. Tapi aku rasa kau terbiasa mengahadapinya. Ya ya ya, aku tahu. Kau tak bisa marah padaku, kan? Aku terlalu manis untuk kau sakiti. Tentu saja aku tahu juga kau bohong saat kau katakan aku gendut. Kau bohong saat menggeleng bahwa aku cantik! Faktanya, kau juga sangat merindukanku saat ini. Mengaku saja.

Surat ini untukmu, orang yang kuyakini jelek sedunia.

Aku ingin bunga! Apa di selasela bukumu yang tebal itu kau tidak pernah membaca dongeng? Aku adalah jelmaan putri merah muda yang datang dari sana. Kemarin di pojok meja kerjaku, ku cium wangi mawar. Ku kira itu engkau. Nyatanya bukan. Tidak. Aku lantas tidak membuangnya. Mawar itu sangat wangi dan kuputuskan untuk menyimpannya. Semoga saja kau akan mengirimkan bunga yang lain sebelum kelopak mawar di sini menguning dan layu satusatu. Aku yakin kau tidak akan menungguku tenggelam dan mati dulu baru akan menaburkan wangi bunga di pusaraku. Hei, ini bukan majas. Cepat belikan aku sesuatu yang menyenangkan. Aku tak peduli ada berapa banyak uang di dompetmu. Aku tak peduli.

Haha.
(mungkin) aku sedang bergurau. Setiamu saja sudah lebih dari bunga. Aku tahu kau mempunyai kesulitan untuk menjadi pangeran romantis. Yah, walaupun kadang aku suka juga saat kau katakan -dan melakukan- sesuatu yang sedikit berlebihan tentang "aku".

Untukmu huruf A ku satusatunya. Cinta tak selamanya menjadi alasan bagi orang biasa seperti kita. Cinta –yang salah dalam pembentukan konsep- juga sesuatu yang jarang sekali absen dalam menuai murka. Mungkin aku akan sering meminta dan memaksa.  Dengan cara itu pula korupsi menjadi dalih lain dan bermetamorfosa sebagai hubungan kausatif di antaranya. Kau tentu saja tahu bahwa dorongan menikmati uang haram seorang pemimpin dalam keluarga bukan datang dari nuraninya. Tapi nuraninurani orang yang ingin dibahagiakannya. Petinggi kita yang telah lengser atau yang masih bertengger punya nurani lain yang secara langsung atau tidak bisa memaksanya menebus kesenangan itu dengan cara yang tidak biasa,  mungkin saja karena jalan yang bisa ditempuh sudah tak mencukupi lagi. Kita memang jarang sekali merasa cukup kalau tidak bersyukur.
Aku tahu, kau tidak akan seperti itu.

Tapi siapa yang jamin kau akan selamanya seperti ini. Tentu saja kau bisa saja seperti itu! Kalau suatu hari entah dimana kau memintaku menjadi istrimu -Kau yang telah mengajariku rasa percaya diri ini-. Lalu bisa saja aku menjadi bagian yang membuatmu jatuh sewaktuwaktu.
Kau yakin? Jika iya aku ini tulang rusuk siapa? Makanya kau jangan yakin kau akan jatuh. Sebaliknya, jelek. Kau akan menjadi orang besar. Kau adalah orang hebat yang akan didampingi orang yang hebat pula. Kau masih punya banyak sekali kesempatan membentukku. Setidaknya, aku terlalu obsesif dan ingin jadi bagian yang mem-baik-kan.

Maka dari itu pulanglah jika ada waktu. Kapalmu mulai diganggu orangorang lewat. Ada yang sekadar iseng, tak sengaja atau bahkan sudah menjadi nawaitu-nya. Aku bisa saja menjadi sangat pemaksa jika kau tak mengajariku lagi. Aku ingin berjama'ah dan melihatmu menghapal doa selamat. Itu bekalmu nanti saat kau ku bawa ke rumah.

Aku juga tahu, jelek.
Kau dengan pesta demokrasi disana merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Teruslah bersosialisasi agar banyak orang yang tak golput. Dulu, aku pernah menjadi bagian yang kontras diantara temantemanku saat aku memilih untuk memilih. Aku tak suka samar, abuabu. Bagiku, setiap pilihan adalah sepaket antara keuntungan dan konsekuensi. Untung di dalam keuntungan dan rugi terselebung dalam konsekuensi. Intinya, rugi bisa saja menjadi tiada kerena pasti ada yang baik diantara yang terbaik. Aku belum menemukan alasan yang tepat bagi mereka yang tak berani dengan pilihan. Bukankah bernafas itu saja sudah pilihan? Mungkin kau bisa menjabarkan fenomena ini padaku suatu kali. By the way, jika kau tidak memilih mengalah maka kau tidak akan kalah pada diskusi kita. Psttt, tentu saja kau harus memilih mengalah sekalisekali ya. Agar aku sedikit senang, begitu.

Suatu hari, jika cinta kita menjadi halal dan dari rahimku malaikatmalaikat kecilmu berasal. Kau harus lebih sering pulang. Karena suaraku terlalu sumbang untuk bernyanyi lagu...  bang Toyib!

Kau bukan bang Toyib.
Sekali lagi, kau adalah huruf A ku satusatunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar