welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

16.12.09


Negeri 5 Menara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama (2009)
Tebal : 416 halaman
Genre : Edukasi, Religi, Roman
Harga : Rp. 50. 000,-

Congrats’ deh buat kamu yang udah punya ni novel as Ur books collection. But, buat yang masih bingung ‘n gundah mo beli ni buku tapi belom punya gambaran seputar isi buku, nah DeJe try 2 answer now!. Negeri 5 Menara merupakan novel perdana hasil pemikiran Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2009. intinya bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. They are>>Alif Fikri Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, Baso Salahuddin dari Gowa. Tokoh dalam novel ngegunain tokoh ‘akuan’ yang diperanin oleh si Alif.
Selaen enam tokoh sentra tadi. Ada juga nih tokoh yang ngelengkapin alur ceritanya. They are>>Amak, Ayah / Fikri Syafnir / Katik Parpatiah Nan Mudo, Pak Sikumbang, Pak Etek Muncak, Pak Etek Gindo Marajo, Pak Sutan, Ismail Hamzah, Burhan, Ustadz Salman, Kiai Amin Rais, Kak Iskandar Matrufi, Rajab Sujai / Tyson, Ustadz Torik, Raymond Jeffry / Randai, Ustadz Surur, Ustadz Faris, Ustadz Jamil, Ustadz Badil, Ustadz Karim, Kak Jalal, Amir Tsani, Pak Yunus, Kurdi, Ustadz Khalid, Shaliha, Sarah, Mbok Warsi, Zamzam. Rame sangad ya? N’ gak mungkin DeJe kasih tahu semua peran-perannya. So, come on! buy this book now to get all!! Hehe…
Keenam tokoh sentra tadi sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 sampai kelas 6. kebayang kan gimana akrabnya mereka?. Saking deketnya, mereka punya hobi yang nyaris sama, duduk dibawah menara pondok madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepakbola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru. Sebenarnya ia tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabauanau Maninjau sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja dia harus harus mengikuti keinginan amak-nya belajar di pondok. Sebenarnya Alif ingin menjadi Habibi, hal ini membuat selama beberapa waktu Alif ragu dengan keputusannya masuk PM. Apalagi Randai, sahabatnya, rutin mengirimi Alif surat yang berisi keasyikan “memakai” celana putih abu-abu. Namun perlahan seiring beruntutnya sang waktu keraguan Alif pupus ketika dia menyadari betapa tebalnya atmosfir pendidikan di PM. Akhirnya keinginan ibunyapun ia turuti dengan naik bis menyusuri lekuk pulau Sumatera dan Jawa tiga hari tiga malam. Tujuannya adalah sebuah desa dipelosok Jawa Timur, Pondok Madani(PM).
Di first day class-nya, Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Sebuah kalimat yang terus memotivasinya untuk dapat sukses dengan bersungguh-sungguh. Pendidikan di PM tidak hanya dilangsungkan di kelas, tapi di semua tempat sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Full time learning ini juga didukung oleh para ustad yang menganut paham: ustad ikhlas mengajar dan santri ikhlas diajar.
Dalam masa penyesuaian, dia sempat terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara. Situasi yang barupun membuatnya memiliki teman-teman baru yang dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Sebuah kebiasaan yang kerap mereka lakukan bersama adalah menunggu adzan magrib sambil menatap barisan awan dibawah menara masjid yang tinggi menjulang. Mata mereka yang masih sangat muda menangkap negara dan beragam benua impian dibalik awan-awan yang menjelma. Tapi terkadang mereka bertengkar meributkan bentuk-bentuk awan tersebut.
Di mata belia mereka, awan-awan itu menjadi negara dan benua impian masing-masing. Alif melihat bentuk benua Amerika dalam awan. Sementara Raja bersikukuh bahwa awan yang mereka lihat berbentuk benua Eropa, Atang melihatnya sebagai Afrika. Dua sahabat lain, Said dan Dulmajid melihatnya sebagai peta Indonesia. Sementara sahabatnya yang lain, Baso, melihat Asia di langit sana. Lantas, mereka ‘bermimpi’ untuk sampai ke tempat-tempat itu. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Di kelas enam (kelas tertinggi dalam tempat mereka belajar) mereka sempat mementaskan sebuah drama dengan kisah Ibn Batutah. Mereka semua, tampaknya, adalah jiwa-jiwa kanak yang haus akan pengetahuan dan keinginan untuk melihat negeri lain. Melalui tokoh enam sahabat ini, Penulis seolah mengajak pembacanya untuk menjadi jiwa-jiwa yang membuka diri terhadap ‘yang lain’.
Next story nya sungguh unpredictable loh sahabat DeJe, turut pula diwarnai dengan kisah interaksi chatting via internet antara Alif, tokoh utama novel ini, di Washington D.C dengan temannya yang ber ID “batutah”. Ibn Batutah dikenal sebagai pengelana Muslim terbesar jaman dahulu. Ahmad Fuadi merasa perlu menerangkan mengenai hal ini dalam beberapa paragraf. Ia antara lain menyebut buku Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al Amsar wa Ajaib Al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Yang Mengagumkan) karya Ibn Jauzi yang berkisah tentang perjalanan pengembaraan Ibn Batutah berkeliling dunia selama 30 tahun (hal. 339-340). Ibn Batutah bahkan diyakini berkelana lebih jauh dari pengelana besar Barat Marco Polo. Amazing!
In the end, keenam sahabat ini sampai ke tempat-tempat yang mereka pertengkarkan dan impian semasa mondok. Chatting yang disajikan sebagai intro novel ini seolah jadi semacam simbol pengembaraan intelektual dan spiritual keenam sahabat yang selanjutnya lulus dari pondok tersebut tersebar ke berbagai tempat di penjuru dunia: Alif di Washington D.C dan sahabatnya Atang yang ber-ID ‘batutah’ itu sedang menuntut ilmu di Kairo. Bertahun-tahun mereka berpisah, terhubung kembali melalui internet, dan berjanji untuk bertemu dalam sebuah konferensi yang mereka berdua akan hadiri sebagai pembicara di London. Di London juga mereka bertemu lagi dengan sahabat lain, Raja, yang sedang tinggal sementara di sana.
Ada pesan yang tersurat dari penulis yang berkesan buat DeJe, di halaman 0 (sebelum halaman 1, setelah halaman persembahan dari penulisnya). Pesan itu adalah kata mutiara dari Imam Syafii yang mulai ditanamkan pada siswa tahun keempat di pondok Gontor:
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang, kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa, jika didalam hutan…"
Dalem kan?
Novel ini juga gak lupa menyisipkan pesan bahwa merantau atau pilgrimage tidak melulu fisik sifatnya. Pondok Madani tempat Alif dan kelima sahabatnya belajar bak motivator yang mendorong murid-muridnya rajin membaca buku dari dalam dan luar negeri untuk membuka cakrawala maha luas.
Alur cerita bisa dibilang menguak “misteri” setting suasana dalam pondok. Di sela-sela paragraf full juga amanah untuk bersungguh-sungguh meraih mimpi, imajinasi anda akan diajak menyambangi sudut-sudut pesantren: Masjid Jami’nya, aulanya, asrama-asramanya, bahkan ruang mahkamah yang pernah menjadi saksi penggundulan santri-santri yang berhasil bermimpi ini. Terdapat juga humor yang terselip khas penulis Sumatra. Coba saja bandingkan dengan tetraloginya Andrea Hirata atau humor yang menyempil dari dua buah buku E.S. Ito. “Negeri 5 Menara” ini merupakan buku pertama dari trilogi Negeri 5 Menara. Pssttt, banyak yang bilang buku ini bisa disejajarkan dengan Tetralogi Laskar Pelangi loh! Menurut kamu?** ( Mei)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar