welcome vigorously

I take some time to think, write and arrange all these with spirit and dedicate to you whose spirit!

You are looking for...

16.4.11

GURU: SANG MOTIVATOR DAN MEDIATOR


Opini: Meila R*


            Pendidikan adalah salah satu aspek kehidupan yang penting bagi manusia. Melalui pendidikan, seseorang bisa belajar banyak hal dan mendapatkan pengakuan sosial di masyarakat. Pendidikan juga menjadi salah satu penentu karakter bangsa. Oleh karena itu, baik input maupun output serta proses pendidikan sendiri menjadi suatu kesatuan yang penting untuk diperhatikan. Bahkan sudah selayaknya kesatuan dalam pendidikan tersebut terus dibenahi oleh pihak-pihak terkait agar pendidikan semakin mengikuti perkembangangan zaman. Salah satu unsur dalam pendidikan yang memegang peranan penting adalah guru. Guru adalah sebuah jabatan atau profesi yang membutuhkan kemampuan mengajar sekaligus mendidik siswanya. Sesorang yang memiliki kemampuan pengatahuan yang tinggi dan dapat berbicara di depan umum dalam bidang-bidang tertentu, belum menjadi jaminan ia dapat disebut sebagai seorang guru. Seorang guru dapat dikatakan profesional jika memahami seluk beluk pendidikan dan pengajaran. Salah satu tugas guru adalah berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan di sekolah dan guru sebagai pemegang peranan utama kegiatan tersebut. Dalam kegiatan tersebut terjadilah interaksi anatara guru dan muridnya. Interaksi ini tentunya mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
            Fungsi guru dalam pendidikan tentunya tidak sebatas dalam masyarakat saja. Bahkan, pada dasarnya guru juga mengambil bagian dalam komponen penting yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Keberadaan guru bagi suatu bangsa tentu dirasa penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun. Guru juga hendaknya menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan. Karena  semakin mampu dan tepat seorang guru melaksanakan fungsinya dalam pendidikan, semakin variatif pula metode dan media pembelajaran yang menarik minat siswa untuk belajar.
Watson mengungkapkan bahwa manusia dilahirkan dengan sejumlah refleks yang terbatas, sedangkan belajar adalah hasil pengkondisian reflek-reflek tersebut. Oleh karena itu Watson berpendapat, perbedaan kemampuan yang ada diantara manusia semata-mata disebabkan karena pengalaman (pengkondisian) yang berbeda karena pada awalnya manusia semua sama. Belajar sebagai tugas utama siswa merupakan kegiatan yang berlangsung melalui perantara guru. Melalui proses belajar, siswa melakukan pengkondisian reflek yang terbatas pada dirinya. Pongkondisian tersebut sejalan dengan “The Law of ExerciseThorndike berpendapat bahwa upaya guru memberi latihan yang berulang-ulang dalam kegiatan pembelajaran akan membuat siswa terlatih dalam memberi respon yang tepat atau benar. Dalam artian bahwa, siswa akan lebih mampu mengkondisikan keterbatasannya dengan belajar dan kebiasaan berlatih. Hal tadi berlaku untuk kemampuan siswa yang heterogen sesuai dengan minat dan bakatnya. Tentu saja, kemampuan berkaitan pula dengan kemauan yang juga berpengaruh pada kepiawaian seorang guru menyesuaikan dengan perannya dalam pendidikan.
                 Salah satu kepiawaian guru tersebut adalah memasukan unsur teknologi dalam proses pembelajarannya. Perkembangan dan penerapan teknologi dalam dunia pendidikan di tahun 2011 ini semakin berkembang sejalan dengan tuntutan peran guru yang bukan hanya sebagai aktor utama di dalam kelas. Disadari atau tidak “kemajuan teknologi telah menstimuli pendidikan untuk dapat beradaptasi sesuai dengan tuntutan zaman dan menumbuhkan kesempatan belajar bagi peserta didik (grown learning)” (Yamin, 2011:1). Guru sebagai ujung tombak pendidikan idealnya bisa menarik perkembangan teknologi tersebut ke dalam ranah yang positif untuk dapat diterapkan pada peserta didik. Fungsinya tentu saja agar mempermudah proses pengajaran yang bukan hanya “teacher centris” melainkan juga membentuk pendidikan yang berkarakter dan berpusat pada peserta didik atau yang dikenal dengan “student centris”. Tujuannya adalah menghasilkan suatu komponen output pendidikan yang bukan hanya paham apa yang telah ia pelajari di bangku pendidikan formal, tapi juga mampu menerapkan hal-hal yang telah ia pelajari tersebut dan mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia peserta didik diajarkan untuk mampu berpidato di depan umum. Hasil pendidikan ideal yang harusnya dicapai adalah bukan hanya ketika peserta didik tersebut memahami unsur-unsur pidato maupun penguasaan pemilihan kosakata dalam pidato saja, melainkan juga mampu melatih diri untuk berbicara di depan publik atau public speaking baik di sekolah maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
                 Sekolah merupakan tempat interaksi antara siswa dan guru. Selain adanya proses belajar-mengajar yang sesuai dengan materi dan tuntutan kompetensi siswa, sekolah jga menjadi tempat bersosialisasi dan pengembangan diri siswa. Idealnya, di sekolah siswa juga belajar bagaimana bersikap dengan sesama teman, guru maupun unsur-unsur yang ada di dalam sekolah lainnya. Peran guru di dalam kelas sebaiknya bukan hanya pada capaian penyampaian materi ajar yang terdapat dalam perangkat mengajar. Tapi juga seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik dan menjadi seorang pembelajar yang mampu memahami hakikat pelajaran yang sedang dipelajaarinya. Membangkitkan semangat ini yang dikenal dengan nama motivasi. Dalam dunia pendidikan, alasan atau dorongan itu bisa datang dari dalam maupun dari luar diri peserta didik. Motivasi yang datang dari dalam adalah ketika peserta didik menyadari pentingnya mempelajari suatu bahan ajar serta mampu berinisiatif agar dapat menyerap materi tersebut. Sementara motivasi yang datang dari luar adalah ketika motivasi peserta didik untuk belajar dan mempelajari sesuatu datang dari pengaruh lingkungan sekitar peserta didik. Misalnya keluarga, teman ataupun guru. Intinya, guru juga secara sadar maupun tidak jiuga dituntut memiliki kemampuan memotivasi peserta didik berkaitan dengan materi yang diajarkannya.
                 Suprijono (2010:163) mengungkapkan bahwa “motivasi belajar adalah proses memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama”. Motivasi dapat pula diartikan suatu dorongan seseorang untuk melakukan tindakan. Orang yang tidak mau melakukan suatu tindakan sering kali disebut tidak memiliki motivasi. Dapat pula dikatakan bahwa belajar tanpa adanya motivasi adalah suatu kegiatan yang hambar dan kurang menyenangkan. Siswa cenderung merasa ‘dipaksa’ belajar tanpa bisa mengaitkan apa yang ia pelajari dengan kegiatan sehari-hari jika mereka belajar tanpa adanya motivasi.
                 Peran guru yang tidak kalah penting sebagai penentu pendidikan adalah piawai menjadi seorang mediator. Sebagai mediator guru juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang beragam media pendidikan yang berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi. Guru dalam menyampaikan materi ajarnya tentu menggunakan media sebagai alat penyampaian pengetahuan kepada para peserta didik. Media yang digunakan tersebut tidak hanya sebatas menggunakan bahasa saja. Melainkan juga harus mahir meminkan peran teknologi sebagai salah satu unsur pendukung media. Jadi, sebagai seorang mediator, hendaknya seorang guru memiliki kecakapan dan kemampuan mengenai media pendidikan. Hal ini disebabkan media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses penyampaian materi ajar ke siswa. Media dirasa menjadi sesuatu yang penting mengingat bahwa  media pendidikan merupakan alat komunikasi antara guru dan siswa untuk lebih memaksimalkan kegiatan belajar mengajar. Usaha yang bisa dilakukan seorang guru dalam mencapai fungsinya sebagai mediator bisa dilakukan dengan memperkaya materi dan sumber belajar yang berguna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Selain itu, sumber belajar yang bermacam-macam tentunya dapat membuat proses belajar siswa lebih bervariasi dan tidak monoton pada hal-hal yang masih konvensional. Sumber belajar tersebut dapat berupa internet, narasumber, buku, teks, majalah ataupun surat kabar.
                 Seiring dengan peningkatan penerapan teknologi sebagai pendukung media pembelajaran di kelas, model pembelajaran untuk mencapai tujuan kompetensi yang ingin dicapai menjadi beragam pula. Misalnya saja pada metode pemodelan bermain drama. Guru bisa saja melakukan tindakan berakting sesuai peran yang menjadi tuntutan. Tapi, guna memperkaya pemodelan bagi siswa dan memasukkan unsur teknologi dapat pula dilakukan pemodelan pementasan teater atau drama dalam bentuk rekaman video yang diproyeksikan ke layar LCD. Hal tersebut membuat siswa mampu menghubungkan pengetahuan yang baru di dapatkannya dengan pengatahuan lama yang telah dimilikinya. Siswa tentu bisa mengaitkan akting drama atau teater yang baru dilihatnya pada pemodelan pembelajaran dan letak perbedaannya dengan sinetron yang mungkin sering dilihatnya pada layar televisi sehari-hari.
            Guru mengambil fungsi yang penting dalam menentukan hasil belajar siswanya. Output suatu pendidikan dapat terlihat dari hasil yang diperoleh siswa selama pembelajaran. Menurut Ausubel (dalam Supardi:2008) proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa. Cara-cara yang dapat dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah dengan advance organizer sebagai penyampaian tahap pertama mengenai materi yang akan dipelajari siswa. Hal ini dilakukan dnegan tujuan agar kesiapan siswa dapat dimatangkan terlebih dulu sebelum pemberian materi pembelajaran. Selanjutnya dengan cara progressive differensial yakni penyampaian materi dnegan cara bertahap melalui pemikiran umum-khusus agar kognitif siswa dapat terarah dan sejalan. Kemudian dengan integrative reconciliation berupa penjelasan guru tentang perbedaan dan persamaan  konsep-konsep yang telah diketahui dengan konsep yang baru ssaja dipelajari oleh siswa. Terakhir, consolidation yang berupa pemantapan materi dengan memperkaya contoh dan latihan.
Untuk meningkat kemampuan seorang siswa dalam berpikir maka seorang guru  yang menganut paham kognitivisme tentunya akan banyak melibatkan siswa dalam kegiatan dimana faktor motivasi, kemampuan problem solving, strategi belajar, memory retention skill sering ditekankan. Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam suatu proses yang aktif dan konstruksif. Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun (Bettencourt, dalam Supardi:2008). Di Indonesia, hasil belajar siswa dapat diukur melalui nilai rapor yang dibagi per semester. Namun, tentu saja hasil akhir dari nilai rapor yang juga merupakan hasil dari evaluasi siswa tersebut merupakan kombinasi antara teori dan praktik. Dalam artian bahwa nilai tersebut merupakan perlambangan bahwa siswa bukan hanya menguasai definisi suatu materi, tapi juga memahami bagaimana materi itu dilakukan dan dikaitkan dnegan kehidupan sehari-hari. Guru, baik sebagai motivator dan mediator turut pula menjadi aktor penentu hasil evaluasi belajar siswa yang nantinya akan berimbas pada output pendidikan.
Dapat dikatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan guru mengambil perannya sebagai motivator dan mediator terhadap hasil belajar siswa. Pada hakikatnya, kegagalan guru menjalani perannya disebabkan dengan pola pembelajaran yang masih berpusat pada guru itu sendiri. Maka sudah menjadi dasar yang mulai harus dipertimbangkan bahwa pola pembelajaran yang berpusat pada siswa –harusnya- menjadi acuan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Guru bertanggung jawab untuk mampu memotivasi siswa agar terstimulan dalam proses belajar dan mengajar. Peran yang multifungsi atau ganda ini memang memunculkan tuntutan bahwa bukan sembarangan saja untuk menjadi –atau dapat dikatakan- seorang guru. Sebelumnya, guru harus mendapatkan pembekalan mengajar, simulasi problem solving serta waktu yang cukup untuk melakukan persiapan materi ajar.
Guru juga harusnya menjadi prioritas pelatihan-pelatihan yang berujung pada peningkatan kompetensinya dalam mengajar, bukan malah mendapatkan intervensi yang menakutkan tentang suatu ‘keharusan’ tak tertulis agar siswanya dapat lulus Ujian Nasional. Intervensi semacam ini cendrung melahirkan perilaku menyimpang yang sangat tidak layak dilakukan seseorang berpredikat ‘guru’ seperti memberikan kunci jawaban secara diam-diam agar dapat terhindar dari intervensi tersebut. Tentunya, kita sangat tidak mengharapkan perilaku menyimpang dapat dengan ‘wajar’ dilakukan oleh ujung tombak penentu pendidikan. Mengambil perbandingan terhadap kaum politik, misalnya banyak kasus anggota parlemen yang langsung mundur ketika melakukan kesalahan. Hal tersebut mendefinisikan bahwa dalam dunia politik mungkin boleh saja berbohong, tapi tetap tidak boleh salah. Berbeda dengan seorang guru yang bisa saja salah, tapi tidak boleh berbohong. Dalam kurva normal yang merupakan hukum alam mengatakan bahwa indikator keberhasilan pendidikan bukan lulus seratus persen, tapi bervariasi. Paradigma seperti ini harusnya kembali disadari oleh para teknokrat pendidikan agar guru dapat leluasa menjadi mediator dan motivator terhadap siswanya tanpa intervensi akan ukuran keberhasilan yang menentang hukum alam.



*Meila Rosianika, S.Pd
Guru Bahasa Indonesia di SMP-SMA Al-Falah Jambi
Mahasiswi Pascasarjana program Magister Teknologi Pendidikan Universitas Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar